Memoar Kasih

Seorang remaja lelaki duduk di beranda rumah menghadap ke luar, tidak ada yang ia lakukan selain hanya diam menatap lurus dengan pandangan kosong. Ia duduk manis di dipan kayu dengan sandaran dari anyaman rotan, kedua tangannya ia tumpukan di atas paha. Sedangkan, di sebelah kiri dipan tersandar sebuah tongkat yang kini menemani empunya kemana pun pijakan kaki tertuju.

Gemercik hujan mengalun seperti melodi yang menenangkan batin, hingga remaja lelaki  terlena dibuatnya. Hujanlah yang mampu mengalihkannya ketika memori mengerikan itu datang menghantui. Sebuah tragedi telah merenggut netra kelabu indah nan memesona miliknya, anugerah Sang Kuasa untuknya. Kini apapun yang dilihatnya hanyalah petang tanpa bayang, seolah dunia telah lama kehilangan mentarinya. Masih lekat betul diingatnya, liburan berkesan yang dijanjikan berganti dengan derai air mata disertai dengan jeritan pilu menyesakkan. Dalam hati ingin sekali ia enyahkan. Mimik wajahnya menjadi tegang tiap kali peristiwa itu terlintas kembali di benaknya.

Remaja lelaki itu tersadar dari lamunanya tatkala dari lorong rumah, suara kaki terdengar bertubrukan dengan lantai kayu. Ketukan langkah demi langkahnya menciptakan irama yang kuat, namun kentara bahwa bunyi yang bergema sarat akan keraguan dan dipenuhi kewaspadaan. Tiap langkah terdengar semakin dekat menghampiri, lalu terdengar  tanya dengan suara yang ia hafal betul siapa pemiliknya.

“Kau di sini, rupanya. Amak tadi ke kamarmu, tapi kau tidak ada di sana. Apa yang sedang kau lakukan di sini?” Tanya Amak dengan suara serak dan berat, buah dari tragedi mengerikan itu.

Yang dipanggil tak lantas menyahut, sempat – sempatnya mengutuk diri sendiri. Hingga saat ini, tiada putus sesal yang menjerat dan membelenggu relung hati remaja lelaki itu. Sering kali memaki diri karena tak sengaja menjerat Amak - nya dalam bahaya yang hampir saja merenggut nyawanya.  Ya, kala itu Amak ikut menemaninya. Andai kata waktu bisa diputar, tak akan ia merengek – rengek memaksa untuk ikut berlibur. Nasi sudah jadi bubur, kayu terlanjur hangus menjadi abu. Tersisa sesal yang tetap saja bebal untuk pergi menyisih. Helaan nafas tajam darnya menyiratkan pedih tak berkesudahan.

“Sedari tadi aku hanya duduk diam di sini Mak, meresapi rinai hujan yang turun tak berjeda. Mari duduk sini, Mak.” Tangan remaja lelaki berusaha menggapai lengan Amaknya.

“Aduh, bujangku sudah tumbuh menjadi penyair. Ini Amak tadi buatkan pisang goreng, makanlah.”  Lambat – lambat Amak mengambil posisi di sebelah remaja lelaki, bersama itu tangan coklat legamnya terulur ke atas meja kayu lapuk di hadapan mereka berdua.

Di atas meja tersaji potongan pisang goreng, juga teh manis hangat yang masih mengepul. Tangan remaja lelaki meraba-raba ke atas meja, berupaya meraih. Satu per satu potongan pisang lenyap tak bersisa, remaja lelaki itu bahkan lupa untuk sekedar berbasa – basi kepada Amaknya. Entah saking laparnya ia karena sejak fajar subuh belum sekalipun menyentuh kudapan atau memang karena hawa dingin yang memanggil rasa lapar.

Amak hanya tersenyum geli mengamati sang buah hati. Dengan gemetar lamat – lamat tangan tua itu terangkat membuai kepala remaja lelaki. Gerakkannya halus seperti angin sore yang menyibak helaian surai nakal di dahi. Sentuhannya ringan mengambang seperti kapas.

“Abah mana, Mak?” Spontan remaja lelaki bertanya.

Hati Amak mencelos mendengarnya, duka kembali menerjangnya.

“Hmm, Abah masih tidur di kamar,” jawab Amak pada akhirnya.

“Bagaimana perasaan mu hari ini, apakah kau merasa senang, Nak?” sambung Amak, mengusik keheningan yang sempat tercipta.

“Aku senang, Mak. Cukup dengan Amak dan Abah di sampingku saja sudah cukup,” jawab remaja itu diiringi dengan senyuman.

“Syukurlah! Omong – omong kau tau tidak? Esok Minggu dusun kita akan pergi berlibur,” tanya Amak.

“Oh benarkah? Kelihatanya asik. Mak, maukah ikut pergi berlibur? Aku ingin sekali pergi, seperti saat itu.” Pinta Remaja itu dengan mata berbinar, berharap liburan kali ini membawa kesan baik dan memori yang layak dikenang.

“Tentu, Nak. Amak akan bicara pada Abahmu, pasti ia merestui. Abahmu itu orang yang paling ngotot meyuruhmu pergi berlibur,” kata Amak dengan senyum kecut yang tersampir di wajahnya.

Amak teramat mencintai remaja lelaki, ia rela melakoni apapun. Asalkan selalu ada senyum terpatri di wajah putranya itu, pun ia harus korbankan kebahagiannya tak jadi masalah buatnya. Meskipun batinnya teriris dan terkoyak. Amak tidak peduli, masa bodoh dengan urusan hati.  Dunianya hanya satu – Remaja lelaki.

***

Tiba masa berlibur yang dijanjikan. Satu dusun berduyun - duyun pergi menuju balai warga yang menjadi pos keberangkatan bersama..  Sanak saudara tidak lupa dibawa, berikut perbekalan yang dipersiapkan. Dusun menjadi sepi, tidak ada satu pun yang dilewatkan. Kerumunan warga di sebelah bus semakin riuh, tak jarang suara kelakar tawa bergema entah apa saja sebabnya.

Dari kejauhan Amak dengan sabar menuntut remaja lelaki yang berjalan tertatih-tatih mendekati parkiran bus. Ketika keduanya tiba, dalam sekejap riuh berubah menjadi bisikan, perlahan sirna menjadi senyap. Tentu itu tidak luput dari pandangan, Amak hanya tersenyum atas beragam reaksi yang ia dapat. Kebanyakan warga  hanya tersenyum maklum diiringi tatapan iba. Pun ada yang sengaja mencemooh, kentara kalau tidak suka. Ada pula yang bersikap acuh tak acuh  enggan menanggapi. Mudah saja menerka dari sorot matanya, sejujurnya banyak kata yang hendak diutarakan, tapi Amak tak mampu. Tak sanggup lagi ia menjelaskan karena tidak sebanding dengan kesakitan yang harus ditanggung.

Warga dusun dihimbau memasuki bus, begitu pun remaja lelaki dan Amak. Berdua memilih duduk di lajur kiri bangku paling depan. Risiko dihujani tatapan, mau tidak mau didapatkan, karena keduanya harus berpapasan dengan setiap pasang mata yang melintasi pintu masuk.

Seorang bocah kecil dalam gendongan abahnya meronta ingin turun menghampiri dan menyalami Amak.

“Amak abah apa kabar?” Tanyanya dengan wajah polos tak berdosa.

Sontak saja semua yang terduduk di dalam bus memandang Amak dan bocah itu dengan tatapan kaget dan penasaran. Remaja lelaki juga tidak kalah heran, keningnya mengerut memikirkan.

“Sungguh maafkan atas kelancangan anakku ini, Mak.” Timpal abah bocah itu, dengan wajah gusar dan tatapan tidak enak hati.

“Tak apa,” sahut Amak dengan suara serak nan berat khas miliknya. Tatapannya beralih ke bocah kecil seraya mengelus pucuk kepala si bocah.

“Alhamdulillah, nak. Amak abah baik dan juga sehat,“ jawab Amak dengan tenang, senyumnya lebar dan cemerlang.

Bocah dan abahnya kembali berlalu menuju bangku yang masih kosong, diikuti dengan warga lainnya. Bus telah penuh terisi. Getaran mesin menderu – deru dengan asap pekat yang mengudara, dirasa goncangan ringan ketika bus mulai melaju. Semua tenggelam dalam galombang antusiasme.

“Amak, mengapa bocah tadi memanggilmu dengan sebutan ‘Amak abah’, bukankah abah tidak ikut? Apakah abah di sini?” Tanya Remaja lelaki.

Amak terdiam sejenak. Ia gelagapan, tak menduga bahwa putranya menayakan perihal itu. Detak jantung Amak berdegup kencang, ia gusar. Tubuhnya bergetar. Sekuat tenaga berupaya tetap tenang, lalu Amak menjawab dengan bergumam.

“Hmmm, kau tahulah bagaimana anak kecil. Suka-suka mau memanggil apa.” Remaja lelaki mengangguk mengerti.

***

Bus melaju membelah jalanan, membawa pada sebuah kebetulan di antara gundukan ketidakpastian. Laju bus melambat, rupanya ada kecelakaan. Remaja lelaki pun turut mengamati. Ada ganjalan menggumpal yang ia rasa, jauh di dalam dirinya. Ia masih saja tidak menyadari suatu hal, atau memang batinnya menampik sebuah realita yang tak mampu ia hadapi, berusaha diingkari. Wajahnya berubah pucat pasi dengan keringat merembes menuruni dahi. Remaja lelaki mengaduh kesakitan, kilasan memori berlalu lalang tidak terekendali. Tak kuat, ia berteriak - teriak histeris, tangannya tak henti memukul – mukul kepala. Seluruh isi bus dibuat panik, pun dengan Amak yang kepayahan.

Segera Amak sodorkan butiran pil kepada remaja lelaki, memaksanya untuk menelan. Mata Amak berubah sendu. Gelombang kesedihan tergurat di wajah piasnya tatkala dari bangku belakang ia dengar bisikan, namun masih mampu Amak dengar.

“Kasihan sekali pak Herun, tahun lalu istrinya berpulang menghadap Sang ilahi. Putranya yang juga ikut serta dalam kecelakaan maut itu, kini pun menjadi buta.  Memupuk perihnya luka menganga yang belum sempat mereda, ia harus dibenturkan fakta bahwa putranya itu terjebak dalam rasa trauma akan kehilangan.” Kata seorang wanita.

“Benar, katamu. Pak Herun begitu mencintai putra semata wayangnya, bahkan rela melakukan apa saja, termasuk dengan membuang harga dirinya. Setiap hari ia berperan menjadi ayah sekaligus ibu bagi putranya. Seperti sekarang,  memakai baju gamis lengkap dengan kerudung panjang, juga wewangian yang menguarkan aroma khas istrinya. Sungguh takdir memang tiada mampu diterka.” Timpal suara lainnya.

Tak kuasa lagi menahannya, air mata Amak yang tak lain adalah pak Herun bergulir tanpa henti. Menganak deras menemui hilirnya. Ia tersedak dalam tengisnya sendiri.

***

Ketahuilah dan catat baik-baik, ayahmu dengan sukarela akan melakukan banyak hal gila dan terkesan ekstrim hanya demi melihat senyuman terbit diwajahmu, menghapus sirna kesedihan yang singgah.” 


Source :  Travelia New,dkk.2021.Selaksa Cinta Ayah. Kalana Publishing

Pict Source : candumembaca.blogspot.com

You Might Also Like

0 comments