Sepanjang Jalan Tahura

 


Akhir tahun 2018,  semester 2 kuliah di Bandung aku menyisihkan waktu sekitar satu minggu untuk mendedikasikan diri mengikuti kegiatan kepanitian plus jalan-jalan. Maklum sebagai anak rantau yang baru pertama kali hengkan dari rumah dan jauh dari sanak family mau ga mau ada rasa enggan keluar untuk sekedar jalan bareng teman atau me time. Rutinitas harian hanya “kuliah pulang  ̶ kuliah pulang”, sekalipun weekend. No life memang, alasan yang paling mendominasi lantaran mager dan tidak ada kendaraan. Nah, beberapa hari di Desember itu, saya membulatkan tekat untuk merealisasikan rencana liburan. Masa enam bulan di Bandung tidak pernah kemanapun, “ya kali aja”,begitu pikirku. Kebetulan yang disengaja, 2 orang sohib (semoga mereka pun menggap demikian 😉) mengunjungiku ke Bandung, Sandira dan Agustin.

Perjalanan ke Bandung memakan waktu hampir 14 jam jika ditempuh dengan kereta non lokal. Masih berbekas diingatan kala itu mereka memilih kereta Pasundan dengan tarif 100rb, supaya lebih berhemat.  Beginilah kami mensiasatinya karena untuk ukuran pelajar seperti kami pendapatan hanya berasal dari orang tua. Pepatah mengatakan, “ada harga ada rupa”. Tentu mereka tidak bisa protes dengan fasilitas yang didapat, semalaman mereka duduk di bangku panjang untuk 3 orang dengan sandaran 90 derjat. Belum lagi kursinya jauh dari kata empuk. Setiap bangku berhadap-hadapan dengan dibatasi celah sempit. Dengkul bertemu dengkul merupakan hal yang sudah sewajarnya. Kereta relative bersih dilengkapi dengan kamar mandi mini dan gerbong ber-AC alakadarnya. Kenapa aku tau? Karena aku sudah pernah memilih opsi ini. Beruntung mereka dipindahkan ke ruang restorasi karena AC di sekitar bangku mereka bocor, alhasil airnya mengakir jauh membanjiri tempat duduk. Mereka bercerita, di restorasi jauh lebih baik ternyata, tempat duduk lebih empuk  dan ada meja. Sudah begitu lebih sepi dan tidak sempit.

Singkat cerita aku memapak mereka ke stasiun Kiaracondong petang hari. Lagi – lagi sebagai aksi pengiritan garis keras, aku diam-diam menyelupkan mereka ke dalam asrama. Beruntungnya saat itu sudah tidak banyak penghuni yang masih tinggal dan posisi kamarku berada di basement paling ujung. Sepertinya satpam juga mengira kalau kami memanglah penghuni asrama, karena gelagat kami yang tidak mencurigakan. Kami selamat, lega bukan main.  Semalaman bukannya tidur, kami justru ngobrol ngalor ngidul, apapun jadi bahan perbincangan. Mulai dari seputar perjalanan mereka hingga gosip-gosip random yang spontan bermunculan. Malam itu juga di kepalaku sudah terpikir mengenai acara jalan-jalan keesokannya, Tahura (Taman Hutan Raya) Ir Juanda adalah satu-satunya yang terbersit. Aku memilih destinasi bernuansa alam yang jauh dari peradapan dan kebisingan kota. Begitulah efek karena hidup terlalu serius jadi kurang rekreasi, damn.

Kami baru  merealisasikan wacana untuk membolang besok lusanya, aku harus menghadiri event kepanitian yang sudah dirancang sejak 3 bulan sebelumnya. Sebuah projek motivasi untuk membuat video angkatan yang ditujukan untuk generasi selanjutnya. Aku ditunjuk menjadi salah seorang pj jurusanku. Persiapan memang cukup rumit, apalagi harus mengkoordinar satu persatu masa seangkatanku, belum lagi printilan ini itu yang harus diselesaikan. Okey kembali ke topik! Esoknya, kami bertiga pagi-pagi sekali tour kampus menuruti keinginan kedua temanku berfoto ria. Sekalian saja di sana menjadi titik kumpul dengan dua teman kuliahku yang juga antusias untuk ikut. Mereka adalah Febi dan Alseu yang sudah aku hubungi jauh-jauh hari sebelumnya. Berbekal nasi bungkus untuk makan siang dari warung belakang Masjid Salman, kami berangkat menggunakan grabcar. Ternyata tempat menuju ke sana tidak begitu jauh untuk sampai ke pintu gerbang Dago Pakar. Tiket pun kami beli dan dari situ lah, petualangan kami dimulai!!!

ITB

Just info, Taman Hutan Raya Ir. Juanda itu Kawasan hutan lindung yang letaknya tidak terlalu jauh dari pusat kota. Gampangnya Tahura itu hutan yang di dalamnya banyak tempat wisata. Paket komplit jelasnya. Inilah salah satu pertimbangan kenapa kami berlima memutuskan untuk pergi ke sana. Banyak juga teman merekomendasikan, tempatnya cocok untuk memanjakan mata, berpetualang, even sekedar menjernihkan pikir. Areanya luas sekali, sekitar kurang lebih 300 ha membentang dari daerah Dago sampai ke Lembang. Ada 3 pintu gerbang yang bisa dilalui untuk mencapai kawasan itu, ada pintu gerbang Dago Pakar, PLTA Bengkok, dan satu lagi gerbang Lembang. Karena kami datang dari daerah Dago tentu gerbang Dago Pakar lebih dekat untuk dituju. Dari pintu gerbangnya saja, kami bisa melihat jajaran pohon rimbun dan beberapa jenis tanaman yang menjulang ke atas hingga membuat aku mendongak. Kagum? tentu iya, lama tinggal di kota membuat cukup norak ketika dibawa ke hutan. Di dekat pintu masuk ada peta Kawasan Tahura, di sini aku hanya melihat sepintas dan cenderung tidak terlalu peduli karena terlalu antusias. Padahal kalau diingat-ingat dari sinilah kebodohanku dimulai, karena terlalu menyepelekan dan sama sekali tidak melakukan riset apapun sebelum ke sana. Setelahnya banyak hal tidak terduga terjadi,  membuat aku hanya bisa menyesal dan mengelus dada.

Spot utama yang kami tuju yaitu goa Jepang, goa Belanda, Tebing keraton, dan Curug Maribaya. Tetapi rute berubah, kami mengeliminasi tebing keraton dikarenakan rutenya yang berbeda sendiri dengan 3 lainnya. Tempat pertama, seingatku kami ke goa belanda. Lumayan batinku, kesan seram sudah tampak dari luar. Setelah ke dalam ternyata goa itu menyerupai terowongan dengan ujung di sisi lain dan seperti ada bekas rel di tengahnya. Tidak ada cabang terowongan, hanya ruang kecil di samping kiri kanan.

Selanjutnya kami menyisir jalan menuju goa Jepang. Di goa Jepang ternyata suasana jauh lebih horror lagi, berbeda dengan goa Belanda yang masih diterangi sinar mentari. Di goa Jepang tidak ada cahaya sama sekali di dalamnya, kami harus menggunakan bantuan senter hp. Goa tidak berujung tapi ada cabang menyamping dari lorong utamanya. Pintu masuknya dibuat melengkung lebih lebar dan tidak tinggi. Di sini bulu kuduk berdiri jejeg, dingin sekali hawanya. Mungkin dipengaruhi juga dengan lokasinya yang berada di bawah bukit. Cuma ya, kan tetep saja, serem coy!.

Tinggal satu tempat lagi, yap! Curug Maribaya. Kami ke sana benar hanya mengandalkan dengkul dan papan penunjuk jalan. Ke Tahura seperti ke antaberantah, tak ada sinyal terdeteksi pada gadget, sesekali bisa lah tetapi seringnya tidak. Sedari lokasi goa Jepang kami terus berjalan, jalanan yang awalnya beraspal lama-lama menyempit dan berbatu, yang awalnya datar dan lempeng -lempeng saja malah menanjak.  Jadilah ini seperti petualangan betulan. Satu yang bercokol di kepala “ini kok jauh amat, kapan sampainya?” di sini aku gelisah dan diliputi rasa sesal. Bagaimana tidak, OOTD ku sangatlah ngawur. Benar memang seperti biasa aku memakai jeans, kaos UMK dibalut jaket. Tapi bukannya pakai sepatu justru saya menggunakan flatshoes tipis dan tas tangan. Pintar sekali ide berkostumku! Sangat salah kostum! Saya merutuki kebodohan sendiri. Untungnya saya tidak sendiri, 2 sohipku pun sama. Legalah saya, setidaknya ada yang senasib dan sama – sama susah haha. Hampir 10 km menapiki jalan, sepanjang perjalanan disuguhkan pemandangan yang tidak monoton. Ada tebing menjulang dan kami berjalan dipinggirnya, sesekali kami melewati anak sungai dan mampir di beberapa tempat yang kiranya masih satu arah dengan tujuan kami. Jika bernasib baik saya bisa menjumpai hewan asli Tahura, ada burung, bajing, primata yang unik, monyet pun ada.

Makin jauh jalanan juga semakin sepi, hanya kami yang lewat. Semakin mendebarkan ketika menatap langit yang ditutupi kabut mendung, jika sedang sial sudah pasti hujan akan mengguyur. Sesekali saya iseng melemparkan candaan untuk memaksa mereka bersuara guna membunuh sepi. Dari pada kalut, takut dan berakhir berfikir negatif mending dibawa santai saja. Sampailah kami di sungai besar, membentang jembatan kayu gantung yang reyotnya minta ampun, was-was kami menyebrang satu persatu untuk mencapai sisi seberang. Kami takut tetapi dokumentasi jauh lebih penting, hhhaha! Aksi kami tetap berlanjut.  Entah apes atau apa ketika berada dipenangkaran rusa, saya melihat muda mudi yang sayangnya adalah pasangan. Jiwa jomblo pada akhirya meronta. Ya sudah, mau bagaimana lagi. Di sana ada pondok untuk kami beristrirahat.

Entah jam berapa ketika itu, yang jelas kami sudah tidak peduli akan waktu lagi. Kami melintasi daerah terbuka dan melihat  2 barisan bukit yang berbeda, seperti terpisah, dan tidak lama kami sampai ke curug Maribaya. Sangat disayangkan tempatnya tidak sesuai dengan bayangan yang ada di benak saya, tapi masih layak dinikmati. Di sekitar sana MAPS ku terhubung, dan alangkah melongonya ketika ternyata lokasi curug berdekatan dengan pintu gerbang Lembang. Saya lemas dan merasa bodoh lagi, tapi juga lucu. Kami semua tertawa, menertawakan kecerobohan dan kebodohan kami. Saya mengambil kesimpulan sendiri, bahwa daerah terbuka yang berbukit tadi merupakan batas wilayah Dago dan Lembang.” Masuk dago keluar Lembang” kalimat yang selalu saya ingat ketika mengenang perjalanan itu.  Kami sampai ke pintu keluar dengan raut lelah dan wajah kuyu. Di sekitar pintu keluar tidak ada apa pun, beruntung kami membawa bekal yang sudah tidak berbentuk, langsung kami makan hingga tandas.

Sepertinya terhitung sudah 3 kali main-main ke sekitar kawasan itu, ga ada yang berubah. Sensasi mistisnya ya tetap sama, tapi asrinya juga tetap boombastis abis.

***

"Ini  momen bodoh yang sangat memberi kesan tidak terlupakan. Layak untuk dikenak tetapi tidak untuk diulang."

Thanks sudah mampir!!!

Stay Healthy and Happy!!!

 

 

 

You Might Also Like

0 comments