Raya di Tengah Kota



Bandung,  Selasa 20 Juli 2021

Allahu akbar…Allahu akbar…Allahhu akbar…

Lailahhaillah huwallahu akbar…

Suara takbir berkumandang sayup-sayup terdengar. Tak seperti beberapa tahun sebelumnya, di mana irama bedug bertalu-talu mendominasi. Tak mengherankan, sudah satu setengah tahun keadaan sedang tidak baik-baik saja. Kian hari semakin mencekam, selaras dengan rasa duka yang senantiasa bergulir. Rasa cemas diliputi ketakutan, menghantui setiap insan di setiap malam dan siang. Tetapi beberapa di antaranya  justru tak gentar, seolah sengaja menantang ketakutan itu. Sama halnya denganku.

***

Di penghujung subuh aku melamun, menanti fajar menyingsing, duduk di atas kasur lusuh dan bersandar di sisi tembok lembab sembari menghadap jendela yang tertutup tirai coklat tebal. Sejak menginjakkan kaki kembali di bumi Pasundan, kemelut batin terus bergumul mengobrak-abrik akal sehat. Ketenangan yang didamba, nyatanya sirna. Sekelebat wajah-wajah yang ku kenal silih berganti memenuhi benakku seperti film usang. Jarak membentang semakin menyikasa dan terasa mencekik. Terakhir kali, tak banyak yang berucap, hanya saling bertukar kabar dan sepatah wejangan. Namun aku yakin dalam hati saling berbisik cemas, karena ada banyak hal yang dituturkan dalam benak. Hanya dalam benak.  Dengan sisa kewarasan, aku mendesah pasrah di antara takut dan lelah. Sejenak kualihkan bayangan mengerikan  yang berputar-putar di kepalaku. Aku duduk diam ditemani suara samar takbir dari kejauhan yang sesungguhnya semakin mencabik ketenanganku.

            Tak terdengar suara lain, pun dengan seruan yang terbiasa menemaniku dua bulan ini, bak pengiring untuk mengawali hari dari pagi hingga petang menjelang. Bahkan di tengah malam, saat insan yang lain terlelap menuju mimpi. Masih saja ku dengar suaranya, bersahut – sahutan dengan deru kendaraan bermotor atau tak jarang berlomba dengan irama hujan. Sehari bisa saja ia melintasi jalanan depan rumah, lima hingga enam kali sambari berseru.

Roti…Roti…Roti…ti..ti…” Seruan itu lebih menyerupai ringikan akhir-akhir ini.

Ah iya, seketika aku tersadar. Mungkin karena hari ini Hari Raya, tentulah si pemilik suara  lebih memilih bercengkerama dengan anak dan bininya di rumah. Menghabiskan waktu yang tak seberapa untuk memadu kasih bersama keluarga kecilnya. Tidak akan berdosa bukan, jika sehari saja ia berpaling sejenak dari rutinitasnya.

***

Namun rupannya pradugaku salah, menjelang tengah hari, terdengar suara yang ku hafal betul, mengalun dengan irama dan tempo seperti biasanya.

“Roti…Roti…Ti…ti…ti…” suaranya tak terlampau jelas, memelan lalu tak terdengar. Aku menerka, kiranya berapa kali si Penjual sudah melintasi jalanan ini.

Kusibak tirai kamar, lalu mengintip lewat jendela kaca. Langit nampak sendu, menyembunyikan kilauan mentari. Rintik-rintik hujan turun tak berjeda disertai angin yang sesekali mengoyak dedaunan di ranting pohon. Kulihat gerobak merah berhenti di pinggir jalan, sementara si Penjual tengah berjongkok di pojok pelataran rumah. Ia membingkai tubuhnya dengan tangan dengan kulit kasar nan legam miliknya. Tetap saja sekujur tubuh rentanya basah terkena tampyas air hujan. Ia hanya mengenakan topi lusuh yang asal bertengger di kepalnya. Masker biru dengan warna yang memudar, kontras dengan kulit wajahnya. Baju kemeja bermotif kotak-kotak kusut dan dipadukan dengan celana bahan hitam kedodoran yang tepiannya dilingkis ke atas, mengantung di pertengahan tulang kering. Tersampir tas yang ia selempangkan rendah di pinggang. Pinggiran tas itu sudah compang camping dimakan usia.  Lalu, tak lupa ia memakai sendal jepit hijau tipis sebagai alas kakinya. Rasa-rasanya semua itu tidak cukup untuk menghalau dingin yang merembes memasuki pori-pori kulit dan berdesir sampai ke pembuluh darah.

Semesta sepertinya sedang tak berpihak pada si Penjual, aku mendongak menatap langit dan sepertinya tidak ada tanda-tanda hujan akan mereda. Dengan seksama kuikuti tatapan redup si Penjual yang mengarah ke gerobak kesayangannya. Dari balik kaca transparan berjajar tumpukan roti tawar. Tertata rapi, masih utuh tanpa cela dari lajur paling atas hingga paling bawah. Dapat diterka, walau sudah lama berkeliling, dagangannya belum sama sekali terjual. Astaga, kini tubuhnya sedikit menggigil kedinginan disertai dengan batuk tak berjeda dari bibir keriput miliknya, kulit kasarnya berubah menjadi sedikit pucak di tambah buku-buku jarinya yang mulai membiru. Si Penjual sedikit mendongakkan kepala menatap langit, sehingga  wajahnya terlihat lebih jelas. Raut wajahnya begitu semerawut, kusut seperti kain jemuran selepas diperas dan dibiarkan tergantung begitu saja.

Aku terus mengamati, sembari menerka apa halnya yang sedang dipikirkan oleh si Penjual. Apakah ia sedang memikirkan bagaimana ia dan keluarganya bertahan hidup, setidaknya untuk hari esok saja? Hmm, apakah ia tengah sibuk menghitung deretan angka dengan nominal yang kian membesar menanti untuk dicicil? Ataukah ada yang terbujur sakit dan harus segera mendapatkan pertolongan? Atau, entahlah. terlalu banyak kemungkinan yang berseliweran.

Bibir si Penjual bergerak-gerak seakan berucap, nampaknya ia tengah merapalkan do’a. Kedua tangannya menengadah asal di depan dada, samar-samar air matanya bergulir dari netra rentanya, merembes semakin deras. Tak kalah deras dengan rinai hujan yang terus mengguyur tanah.   Ia masih tetap pada posisinya untuk beberapa lama. Lalu, menunduk dengan tangan memeluk tubuh, hingga lelah membawanya bersama kantuk. Ia tertidur.

Pandanganku teralihkan oleh pengendara berjaket hitam yang tiba-tiba berhenti di dekat gerobak si Penjual. Si Penjual lantas terbangun karena terusik, kemudian ia tersenyum dan bangkit berdiri dengan binar penuh harap. Raut wajahnya seketika berubah menjadi cerah dan terlihat bersemangat. Keduanya terlihat bercakap sejenak, sesaat si penjual menampakkan ekspresi terkejut dan binar matanya semakin memancarkan kebahagiaan tak terkira. Setelahnya pengendara itu berlalu pergi, tak lama si Penjual bergerak lincah menuju salah satu sisi gerobak. Satu demi satu tatanan roti yang terpajang rapi diambilnya, hingga menciptakan rongga lebar di sana sini.

“Sepertinya pengendara tadi menjanjikan rezeki untuk si Penjual,  sebelum berlalu pergi untuk kembali lagi.” batinku.

Aku tetap setia memperhatikan gerak cekatan yang tercipta oleh si Penjual. Satu per satu diletakkannya roti yang telah dibaluri isian menuju ke atas panggangan. Kehangatannya bahkan seakan terasa hingga ke tempatku memandang. Hampir setengah jam berlalu, dua buah kresek hitam besar telah siap dan tergantung di bawah atap gerobak. Bibirnya berkedut membentuk senyuman ringan. Lantas ia kembali ke posisi meringkuk di pojokan, kali ini dengan senyum lebar dengan bahasa tubuh tidak sabaran, menanti sang Pengendara datang menunaikan rezeki yang dijanjikan padanya.

Hatiku ikut menghangat dan turut tersenyum lega. Seketika ketenangan merayap dalam batinku. Semoga penantiannya berbuah manis, semanis doa yang ia panjatkan. Berlembar-lembar rupiah kini tergambar di benaknya, dengan senang hati akan ia persembahkan untuk keluarganya.

***

Matahari telah tergelincir di ujung barat, hingga sore pun menghampiri. Saat aku akan menutup tirai kamar, sontak saja kekagetan menyergap. Si Penjual  masih di sana, tubuhnya sudah basah kuyup. Rupanya sang pengendara itu tak kunjung kembali dan si Penjual tetap menunggu dengan sabaran ditemani derasnya guyuran hujan. Tanpa ia sadari lampu-lampu jalan menyala terang, bahkan bohlam lampu di atasnya turut berpendar pertanda bahwa petang sudah menghampiri. Bersamaan dengan itu, adzan bergema dengan lantang dari berbagai penjuru.

Kini ia terlihat gusar, semangat yang siang tadi melekat perlahan memudar berganti dengan raut kekhawatiran, dan kekecewaan yang mendera. Ketika yang dinanti tak kunjung menghampiri. Ketika kesenangan yang terbit menggebu sirna menjadi janji semu. Ketika harapan yang tumbuh dan membumbung tinggi harus dihempaskan lagi. Binar di matanya kembali meredup, lalu perlahan padam dengan sendirinya. Untuk sesaat pandangan matanya menatap kosong, nampak putus asa.

Beberapa kali aku melongok ke seberang jalan untuk meneliti keberadaan si Penjual. Hingga pukul sembilan malam, ia terhenyak berdiri dengan sempoyongan menuju gerobak. Dengan gemetar ia beranjak bangkit dari posisinya. Sedari tadi ia sama sekali tak berpindah dari sana, aku teramat  yakin kalau tak ada makanan apapun yang ia lahap seharian ini. Semesta seakan mempermainkannya, mengolok-ngolok dirinya dengan hujan yang mengguyur sepanjang hari. Bahkan dengan kurang ajarnya rintiknya mereda ketika dengan pijakan yang terseok-seok, si Penjual membawa gerobak kesayangannya pergi. Melangkahkan kaki untuk pulang membawa serta lusinan roti bakar yang mendingin dan kaku.

Wajahnya jelas pias penuh kebingungan, begitu pun aku. Malang benar nasibnya. Hatiku mecelos, tak terasa pandanganku mengabur dengan bulir bening yang menuruni pipi. Mungkin itulah salah satu jawaban dari rentetan petanyaan yang bergelayut di benaknya. Yah,  roti buatan tanganya sendiri yang akan jadi pengganjal perut untuk ia dan keluargan. Si Penjual perlahan berlalu dalam senyap tanpa suara. Raya di tengah jalanan kota, rupanya tak semanis pengharapannya, itu bukan miliknya seberapapun penyangkalan yang bergelayut di benaknya.

***

Acap kali sekelebat ingatan tentang peristiwa itu muncul kembali, seketika dadaku berdenyut nyeri. Sadar sepenuhnya bahwa tidak ada kepastian dalam setiap keyakinan yang tercipta. Bahkan untuk sebagian insan,  rasa cemas dan takut seolah tak berhak dimiliki, sebaliknya digantikan dengan kepasrahan total hingga entah kapan tepatnya.  Tak banyak kata  terucap, bukan tak mau tetapi memang karena tak mampu untuk sekedar memulai. Sejuta kata yang hendak ditumpahkan, hanya bergumul hingga pangkal tenggorokan lalu tertelan kembali. Alih-alih menjadi penecerita, sebaliknya satu demi satu perkara dipertanyakan dengan gamblang ditujukan pada Tuhan.

Dua malam setelah hari itu terdengar suara sirine tumpang tindih tak beraturan. Tiga ambulan dengan lampu biru menyala, melintas beriringan di jalanan depan rumah. Aku tertegun lama, mungkin salah satunya membawa si Penjual bersaman dengan iringan takbir yang menghantarkannya. Rupanya hari itu adalah kali terakhir aku melihatnya, tak pernah lagi berjumpa atau sekedar menatap siluet gerobaknya, di hari berikut dan seterusnya.

***

Bandung, 28 Desember 2021

Sadar sepenuhnya bahwa tidak ada kepastian dalam setiap keyakinan yang tercipta. Bahkan untuk sebagian insan,  rasa cemas dan takut seolah tak berhak dimiliki, sebaliknya digantikan dengan kepasrahan total hingga entah kapan tepatnya.  Tak banyak kata  terucap, bukan tak mau tetapi memang karena tak mampu untuk sekedar memulai.”

 

You Might Also Like

0 comments