Gempa Turki : Konstruksi Bangunan menjadi Penyebab Kematian
- February 14, 2023
- By Travelianew
- 0 Comments
Tragedi Februari 2023 : Gempa Bumi Turki dan Dampaknya
Lebih dari sepekan sudah,
semenjak tragedi gempa bumi yang melanda Turki. Aku turut prihatin. Gempa terjadi
pada Senin, 07 Februari 2023 pukul 4 dini hari. Gempa bumi terjadi di
perbatasan antara Turki dan Suriah dengan kekuatan 7,8 Magnitudo yang
mengguncang hingga 100 km dari garis patahan, disusul dengan beberapa kali
gempa susulan dengan kekuatan terbesar yaitu 7,5 Magnitudo 9 jam setelahnya. Total gempa susulan mencapai
lebih dari 125 kali dalam sehari.
Turki terletak di antara 4
lempeng tektonik yang sewaktu-waktu dapat menyebabkan gempa bumi. Empat di
antaranya yaitu Anatolian plate, Eurasian plate, Arabian plate, dan African
Plate. Dan pergerakan masif dari lempeng Arabian plate dan Anatolian
plate inilah yang menyebabkan terjadinya gempa bumi selama satu minggu ini.
Gempa tersebut tercatat ke dalam salah
satu gempa terdahyat di Turki sepanjang 80 tahun dengan korban jiwa mencapai
lebih dari 22.000 orang, meleset dari prediksi WHO. (Last updated: 10 Februari 2023, 08.00
a.m). Juga termasuk ke dalam 20 jajaran gempa dahsyat dan mematikan di dunia
selama 20 tahun terakhir. Selain korban jiwa, gempa bumi tersebut menyebabkan
bangunan rusak parah, bahkan banyak di antaranya yang rata dengan tanah.
Sebelum tragedi ini, gempa bumi
dahsyat pernah terjadi pada tahun 1999 dengan kekuatan 7,4 Magnitudo di kawasan
Izmit. Bencana terebut menyebabkan lebih dari 18 ribu orang meninggal dengan
kerugian mencapai 4,4 miliar USD.
Mengapa Gempa Turki Menyebabkan Banyak Korban Jiwa?
Tragedi gempa tersebut banyak
memakan korban jiwa dan akan menjadi catatan sejarah tak akan terlupakan, khususnya oleh penduduk
setempat. Tingginya angka kematian disebabkan oleh beberapa faktor yang
melatarbelakangi.
Pertama, kekuatan gempa bumi
termasuk dalam kelas Mayor (7,8 Magnitudo) yang dapat menyebabkan kerusakan. Tidak
dapat dipungkiri bahwa besarnya kekuatan gempa juga dipengaruhi oleh lokasi
yang merupakan pertemuan 4 lempeng tektonik.
Kedua, waktu terjadinya gempa
adalah waktu istirahat. Di mana sebagian besar penduduk Turki dan Suriah sedang
menghabiskan waktu di rumah dan berada di atas tempat tidur. Tidak ada yang
menduga bahwa mereka dikagetkan dengan guncangan yang dahsyat dan tenggelam
dalam kepanikan. Lalu, seketika semua luluh-lantah.
Ketiga, cuaca yang ekstrim. Turki
dan sekitarnya memang sedang memasuki musim dingin. Di mana-mana dingin dan
basah, tidak jarang suhu berada di bawah nol derajat celcius. Cuaca ekstrim
menyebabkan kondisi tubuh drop. Dapat dibayangkan betapa buruknya
keadaan tersebut. Akibat gempa bumi, listrik padam sehingga para korban tidak
bisa menghangatkan tubuh dengan menggunakan alat penghangat. Pakaian adalah
satu-satunya hal yang mereka andalkan untuk menghangatkan tubuh. Jika dirasa
tidak cukup, maka mereka akan membuat api unggun seadanya.
Keempat, bangunan yang hancur lebur. Dari 5700 bangunan yang porak poranda, kebanyakan merupakan apartement hunian dan gedung-gedung tinggi. Mayoritas korban terjebak dan tertindih dalam puing-puing reruntuhan selama berjam-jam.
Terakhir, respon penanganan yang dinilai lambat. Hal ini wajar terjadi, mengingat gempa terjadi di waktu orang sedang tidak terjaga. Kemudian, keterbatasan sumber daya dan sarana, serta kurangnya kesiapan personel.
Mayoritas Korban Jiwa, Disebabkan karena Abruknya
Bangunan?
Kurang lebih dari 5700 bangunan
yang terkena dampak gempa Turki. Memang
banar jika gempa bumi yang terjadi tergolong merupakan gempa berkekuatan besar,
namun tidak cukup untuk memporak-porandakan bangunan setinggi gedung pencakar
langit apabila dibuat sesuai standar yang berlaku.
Kerusakan tersebut menandakan bahwa bangunan tidak dibuat sesuai dengan standar terbaru yang ditetapkan sejak tahun 2018 oleh pemerintah Turki. Kementerian Lingkungan dan Urbanisasi pun menyatakan pada 2018, lebih dari 50% atau sekitar hampir 13 juta bangunan dibangun dengan melanggar ketentuan.
Sementara provider company gembar-gembor bahwa bangunan dibuat sesuai dengan peraturan gempa dan menggunakan bahan baku berkualitas.
Lantas pertanyaannya, mengapa
banyak kerusakan yang terjadi? Artinya memang bangunan tersebut tidak sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
Jenis kerusakan yang terjadi pada
bangunan yang hancur ialah tipe Pancaked Collapse. Kerusakan yang
paling tidak dikehendaki di mata para ahli, di mana kerusakan dimulai dari
bagian bawah diikuti dengan kerusakan di atasnya, sehingga runtuhan bangunan
bertumpuk seperti pancake. Korban yang terjebak didasar dipastikan akan
meninggal, jika pun selamat maka pelungnya kecil.
Menurut professor bencana dan kesehatan di
University College London, menyebutkan bahwa hanya ada sedikit orang yang akan
selamat setelah 72 jam terjebak dalam puing reruntuhan. Hal ini berlaku dalam
kondisi cuaca normal.
Ini sudah
hari ke-4 semenjak kejadian, sehingga secara rasional korban juga semakin
meningkat, update terbaru mencatat bahwa korban mencapi lebih dari 22rb jiwa.
Terlebih dengan cuaca yang dingin akan meningkatkan resiko terserang hipotermia
dan ditambah dalam kondisi tanpa makan minum.
Sehingga, risiko harapan hidup bagi para korban juga semakin menipis. Namun, akan selalu ada keajaiban yang terjadi, semua pihak tidak boleh kehilangan harapan. Untuk sekarang, waktu merupakan musuh utama semua pihak.
Keseluruhan jumlah korban, tidak
semata-mata karena gempa yang terjadi. Melainkan dikarenakan adanya pemicu
sekunder yaitu bangunan yang runtuh. Mayoritas korban ditemukan di sekitar
reruntuhan bangunan, entah ditemukan dalam kondisi bernyawa atau sudah meninggal.
Ada yang terjepit, tertimpa, bahkan terkubur.
Serupa dengan Gempa Bumi Cianjur
di Indonesia tahun lalu dengan ratusan korban. Situasinya sama, disebabkan oleh
bangunan yang roboh luluh lantah rata dengan tanah.
Hal itu mengingatkan aku dengan perbincangan
bersama teman, kami mendebatkan perihal bangunan-bangunan runtuhlah yang justru
menyebabkan banyak korban, sedangkan gempa bumi sendiri hanyalah sebuah pemantik
saja.
Mulanya tidak setuju dengan
pendapat tersebut dengan argumanen pesimis, bahwa bagaimana mungkin bangunan
bisa menyebabkan kematian, padahal jelas -jelas tanah yang terbelah-belah
itulah yang mengubur para korban. Juga mustahil untuk menerapkan standar
pembangunan anti gempa pada bangunan. Berakhir dengan memaklumi sedikitnya
upaya yang digaungkan oleh pemerintah untuk hal tersebut, dengan dalih bahwa
urusan pemerintah tindak hanya seputar bencana alam.
Namun, jika ku pikir berulang kali,
sesungguhnya tugas pemerintah sudah dibagi-bagi dalam bentuk lembaga yang lebih
kecil, dengan harapan dapat lebih fokus untuk menangani suatu permasalahan.
Semuanya tentulah sudah dilakukan dengan pertimbangan yang matang.
Banyaknya jumlah korban, pada dasarnya bisa
direduksi apabila dilakukan mitigasi bencana terutama perihal regulasi
penerapan bangunan tahan gempa. Maka setiap orang seyogyanya harus punya
kesadaran masing-masing. Seperti halnya Jepang, negara yang hidup dengan
ancaman bencana telah menekankan bahwa
building regulation yang tepat dapat membantu banyak orang selamat saat
terjadi bencana.
Ini salah
satu strategi pembangunan yang telah dilakukan oleh Jepang.
Sekarang, agaknya aku sangat setuju
memang apabila pemerintah, baik di Indonesia atau di negara mana pun supaya
lebih gencar mengupayakan tegaknya ketentuan bangunan standar anti gempa. Apapun
tantangannya, baik kepada masyarakat umum atau perusahaan besar yang hendak
membangun gedung-gedung bertingkat. Terutama untuk daerah - daerah yang rawan
terjadi bencana gempa bumi seperti
Indonesia, Jepang, Turki, dll.
***
[15/02/2023]
0 comments