Gempa Turki : Konstruksi Bangunan menjadi Penyebab Kematian

 

Tragedi Februari 2023 : Gempa Bumi Turki dan Dampaknya

    Lebih dari sepekan sudah, semenjak tragedi gempa bumi yang melanda Turki. Aku turut prihatin. Gempa terjadi pada Senin, 07 Februari 2023 pukul 4 dini hari. Gempa bumi terjadi di perbatasan antara Turki dan Suriah dengan kekuatan 7,8 Magnitudo yang mengguncang hingga 100 km dari garis patahan, disusul dengan beberapa kali gempa susulan dengan kekuatan terbesar yaitu 7,5 Magnitudo  9 jam setelahnya. Total gempa susulan mencapai lebih dari 125 kali dalam sehari.

    Turki terletak di antara 4 lempeng tektonik yang sewaktu-waktu dapat menyebabkan gempa bumi. Empat di antaranya yaitu Anatolian plate, Eurasian plate, Arabian plate, dan African Plate. Dan pergerakan masif dari lempeng Arabian plate dan Anatolian plate inilah yang menyebabkan terjadinya gempa bumi selama satu minggu ini.

    Gempa tersebut tercatat ke dalam salah satu gempa terdahyat di Turki sepanjang 80 tahun dengan korban jiwa mencapai lebih dari 22.000 orang, meleset dari prediksi WHO.  (Last updated: 10 Februari 2023, 08.00 a.m). Juga termasuk ke dalam 20 jajaran gempa dahsyat dan mematikan di dunia selama 20 tahun terakhir. Selain korban jiwa, gempa bumi tersebut menyebabkan bangunan rusak parah, bahkan banyak di antaranya yang rata dengan tanah.

    Sebelum tragedi ini, gempa bumi dahsyat pernah terjadi pada tahun 1999 dengan kekuatan 7,4 Magnitudo di kawasan Izmit. Bencana terebut menyebabkan lebih dari 18 ribu orang meninggal dengan kerugian mencapai 4,4 miliar USD.

Mengapa Gempa Turki Menyebabkan Banyak Korban Jiwa?

    Tragedi gempa tersebut banyak memakan korban jiwa dan akan menjadi catatan sejarah tak akan terlupakan, khususnya oleh penduduk setempat. Tingginya angka kematian disebabkan oleh beberapa faktor yang melatarbelakangi.

    Pertama, kekuatan gempa bumi termasuk dalam kelas Mayor (7,8 Magnitudo) yang dapat menyebabkan kerusakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa besarnya kekuatan gempa juga dipengaruhi oleh lokasi yang merupakan pertemuan 4 lempeng tektonik.


    Kedua, waktu terjadinya gempa adalah waktu istirahat. Di mana sebagian besar penduduk Turki dan Suriah sedang menghabiskan waktu di rumah dan berada di atas tempat tidur. Tidak ada yang menduga bahwa mereka dikagetkan dengan guncangan yang dahsyat dan tenggelam dalam kepanikan. Lalu, seketika semua luluh-lantah.

    Ketiga, cuaca yang ekstrim. Turki dan sekitarnya memang sedang memasuki musim dingin. Di mana-mana dingin dan basah, tidak jarang suhu berada di bawah nol derajat celcius. Cuaca ekstrim menyebabkan kondisi tubuh drop. Dapat dibayangkan betapa buruknya keadaan tersebut. Akibat gempa bumi, listrik padam sehingga para korban tidak bisa menghangatkan tubuh dengan menggunakan alat penghangat. Pakaian adalah satu-satunya hal yang mereka andalkan untuk menghangatkan tubuh. Jika dirasa tidak cukup, maka mereka akan membuat api unggun seadanya.

    Keempat, bangunan yang hancur lebur. Dari 5700 bangunan yang porak poranda, kebanyakan merupakan apartement hunian dan gedung-gedung tinggi. Mayoritas korban terjebak dan tertindih dalam puing-puing reruntuhan selama berjam-jam.

    Terakhir, respon penanganan yang dinilai lambat. Hal ini wajar terjadi, mengingat gempa terjadi di waktu orang sedang tidak terjaga. Kemudian, keterbatasan sumber daya dan sarana, serta kurangnya kesiapan personel.

Mayoritas Korban Jiwa, Disebabkan karena Abruknya Bangunan?


   Kurang lebih dari 5700 bangunan yang terkena dampak gempa Turki. Memang banar jika gempa bumi yang terjadi tergolong merupakan gempa berkekuatan besar, namun tidak cukup untuk memporak-porandakan bangunan setinggi gedung pencakar langit apabila dibuat sesuai standar yang berlaku.

    Kerusakan tersebut menandakan bahwa bangunan tidak dibuat sesuai dengan standar terbaru yang ditetapkan sejak tahun 2018 oleh pemerintah Turki. Kementerian Lingkungan dan Urbanisasi pun menyatakan pada 2018, lebih dari 50% atau sekitar hampir 13 juta bangunan dibangun dengan melanggar ketentuan.

    Sementara provider company gembar-gembor bahwa bangunan dibuat sesuai dengan peraturan gempa dan menggunakan bahan baku berkualitas.

    Lantas pertanyaannya, mengapa banyak kerusakan yang terjadi? Artinya memang bangunan tersebut tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.

   Jenis kerusakan yang terjadi pada bangunan yang hancur ialah tipe Pancaked Collapse. Kerusakan yang paling tidak dikehendaki di mata para ahli, di mana kerusakan dimulai dari bagian bawah diikuti dengan kerusakan di atasnya, sehingga runtuhan bangunan bertumpuk seperti pancake. Korban yang terjebak didasar dipastikan akan meninggal, jika pun selamat maka pelungnya kecil.

    Menurut professor bencana dan kesehatan di University College London, menyebutkan bahwa hanya ada sedikit orang yang akan selamat setelah 72 jam terjebak dalam puing reruntuhan. Hal ini berlaku dalam kondisi cuaca normal.

  Ini sudah hari ke-4 semenjak kejadian, sehingga secara rasional korban juga semakin meningkat, update terbaru mencatat bahwa korban mencapi lebih dari 22rb jiwa. Terlebih dengan cuaca yang dingin akan meningkatkan resiko terserang hipotermia dan ditambah dalam kondisi tanpa makan minum.

    Sehingga, risiko harapan hidup bagi para korban juga semakin menipis. Namun, akan selalu ada keajaiban yang terjadi, semua pihak tidak boleh kehilangan harapan. Untuk sekarang, waktu merupakan musuh utama semua pihak.

  Keseluruhan jumlah korban, tidak semata-mata karena gempa yang terjadi. Melainkan dikarenakan adanya pemicu sekunder yaitu bangunan yang runtuh. Mayoritas korban ditemukan di sekitar reruntuhan bangunan, entah ditemukan dalam kondisi bernyawa atau sudah meninggal. Ada yang terjepit, tertimpa, bahkan terkubur.

    Serupa dengan Gempa Bumi Cianjur di Indonesia tahun lalu dengan ratusan korban. Situasinya sama, disebabkan oleh bangunan yang roboh luluh lantah rata dengan tanah.

    Hal itu mengingatkan aku dengan perbincangan bersama teman, kami mendebatkan perihal bangunan-bangunan runtuhlah yang justru menyebabkan banyak korban, sedangkan gempa bumi sendiri hanyalah sebuah pemantik saja.

    Mulanya tidak setuju dengan pendapat tersebut dengan argumanen pesimis, bahwa bagaimana mungkin bangunan bisa menyebabkan kematian, padahal jelas -jelas tanah yang terbelah-belah itulah yang mengubur para korban. Juga mustahil untuk menerapkan standar pembangunan anti gempa pada bangunan. Berakhir dengan memaklumi sedikitnya upaya yang digaungkan oleh pemerintah untuk hal tersebut, dengan dalih bahwa urusan pemerintah tindak hanya seputar bencana alam.

   Namun, jika ku pikir berulang kali, sesungguhnya tugas pemerintah sudah dibagi-bagi dalam bentuk lembaga yang lebih kecil, dengan harapan dapat lebih fokus untuk menangani suatu permasalahan. Semuanya tentulah sudah dilakukan dengan pertimbangan yang matang.

    Banyaknya jumlah korban, pada dasarnya bisa direduksi apabila dilakukan mitigasi bencana terutama perihal regulasi penerapan bangunan tahan gempa. Maka setiap orang seyogyanya harus punya kesadaran masing-masing. Seperti halnya Jepang, negara yang hidup dengan ancaman bencana telah menekankan bahwa building regulation yang tepat dapat membantu banyak orang selamat saat terjadi bencana.

Ini salah satu strategi pembangunan yang telah dilakukan oleh Jepang.

    Sekarang, agaknya aku sangat setuju memang apabila pemerintah, baik di Indonesia atau di negara mana pun supaya lebih gencar mengupayakan tegaknya ketentuan bangunan standar anti gempa. Apapun tantangannya, baik kepada masyarakat umum atau perusahaan besar yang hendak membangun gedung-gedung bertingkat. Terutama untuk daerah - daerah yang rawan terjadi  bencana gempa bumi seperti Indonesia, Jepang, Turki, dll.

***

[15/02/2023]





You Might Also Like

0 comments