5 Stage of Acceptance in any Condition - Grieving Process (Part 2)

Hai, human?

Melanjut masih tentang yang kemarin 5 Stage of Acceptance in any Condition - Human (Part 1).

Apakah pernah kalian mengalami konflik atas diri sendiri maupun orang lain? Sudahkah kalian mencoba untuk berdamai?

Bagaimana kalian memulainya? Sebab hal yang paling sulit untuk dilakukan adalah “mencoba memulainya”.

Ada kalanya kita menghadapi situasi di mana orang terus larut dalam kedukaan. Aku pernah melihatnya, beberapa orang dekat bahkan pernah mengalaminya sendiri. Beberapa orang memilih untuk menghindari masalah, mereka  berupaya terus lari. Padahal sejauh apapun mereka berlari tetap akan kembali. Artinya suatu saat akan dihadapkan kembali dengan masalah yang sebelumnya belum selesai.

Analoginya seperti mereka berlari pada track lari yang jalurnya melingkar. Sekencang-kencangnya berlari tetap saja akan kembali pada garis awalnya. Apa yang mereka lakukan sesungguhnya hanya pelampiasan sesaat. Aku prihatin jika pelampiasan yang dilakukan justru menciptakan persoalan baru.

Mereka yang cenderung terkesan masih saja larut dalam kedukaan sebetulnya masih terjebak di salah satu fase atau di antaranya. Mereka hanya takut untuk menghadapinya.

***

Sebelum sepenuhnya berdamai dan menerima situasi yang dianggap tidak mengenakkan, baik aku, kamu, atau pun milyaran manusia di luar sana akan mengalami 5 tahap penerimaan ini. Umumnya demikian.

5 Tahap Penerimaan Diri (Grieving Process)

Stage Grieving Process of Elisabeth Kubler-Ross’ model 

1. Denial (Penyangkalan)

Seseorang akan berupaya menampik berita tidak api yang diterima. Mereka merasakan sakit dan sedikit rasa sesal,  namun berusaha sekeras mungkin untuk melakukan penyangkalan dan memilih untuk tidak mempercayai situasi yang sedang terjadi.

Pernah tidak sih, berada di dalam setuasi seperti itu? Merasa seolah – olah tidak terjadi apa-apa dan beranggapan bahwa semua baik-baik saja. Di titik ini sering kali mereka tidak sadar, seseorang akan memilih untuk menghindar dan lari dari persoalan dengan mencari pelampiasan yang sebetulnya bersifat semu tidak ada habisnya.

2. Anger (Kemarahan)

Perlahan kemarahan akan dirasakan. Manifestasi atas kemarahan, tentu berbeda bagi tiap individu. Ada yang tetap mengontrol diri (under control) atau lepas control (direct control). Di fase ini, percuma saja mengajak yang bersangkutan untuk berbicara. Apapun yang didengar akan dianggap omong kosong semata. Inilah titik buta bagi mereka.

3. Bargaining (Tawar Menawar/Negosiasi)

Terjadi dialog dengan diri sendiri. Mulai merasa sedih, menyesal, tidak percaya diri, rendah diri dan diliputi emosi negatif lain selain dari kemarahan.  Mempertanyakan kemungkinan hal yang berhubungan dengan persoalan inti untuk pelan-pelan berbenah. Kemudian, mulai untuk tawar menawar dan berandai-andai perihal situasi. Tawar-menawar terjadi disebabkan “perasan tidak berdaya” dan “putus as”. Di sini fokusnya akan lebih tertuju pada kesalahan diri sendiri dan rasa sesal.

Namun sisi baiknya adalah secara sadar mulai untuk mengidentifikasi faktor -faktor yang dapat dan tidak dapat dikendalikan. Lalu, berupaya memecah persoalan menjadi detil-detil kecil sehingga dapat diperoleh solusi yang tepat. Seseorang mulai merekonstruksi kembali dan mengerjakan hal yang sedapat mungkin bisa mereka kontrol.

Kendati demikian, meskipun sudah sadar sepenuhnya fase ini justru merupakan tahapan sulit. Hal itu dikarenakan fase ini rasanya emosi seperti ditarik ulur secara paksa. Ingin bebas dari persoalan yang terjadi tetapi tetap terasa sakit. Namun, rasa sakit itulah yang sesungguhnya menandakan kalo kita sedang bertumbuh.

4. Depression (Depresi)

Fase perantara antara bargaining dan acceptance. Mereka lebih aware dengan realita nyata dan memilih untuk to be present. Rasa sakit yang dirasakan dan emosi yang dibuat seakan naik turun berulang kali, membuat kebanyakan dari mereka merasakan fase ini. Bertanya-tanya kapan kiranya semua usai?

Mulailah menarik diri dari dunia luar dan asik dengan diri sendiri. Banyak mengerjakan pekerjaan secara internal dan meminimalkan pekerjaan secara eksternal. Mengapa? sebab dengan begitu seseorang merasa tetap mempunyai kontrol atas suatu hal. They can create a sense of importance and selfworth by themselves.

Terlihat semakin banyak menyimpan rahasia. Padahal sebetulnya satu, hanya berupaya menghindari konfrontasi dan kritik. Lambat laun, tanpa seseorang itu sadari terjadi disfungsionalitas tingkah laku dengan beragam bentuk. Misalnya, jadi pola hidup yang berantakan seperti makan tidak teratur, sering begadang, dan malas membersihkan diri. Anggapan bahwa tidak ada orang yang peduli dan merasa sendirian sebab merasa dirinya tidak berharga. Takut dihakimi dan menghadapi persepsi orang lain. Syukur-syukur tidak melakukan hal ekstrim. Menenggak racun misalnya. Atau bunuh diri?

Fase ini adalah fase paling rentan dan sangat rawan. So guys we must be aware of others around us.

Bersamaan itu, mereka akan perlahan belajar melepaskan emosinya, kian mereda bersamaan dengan segala kecamuknya. Ini adalah fase alami untuk tiap manusia.

 5. Acceptance (Penerimaan)

Di sinilah, dengan bijak dapat menerima hal baik yang didapat, sesuatu yang mulanya dianggap tidak mengenakkan, apapun bentuknya. Tidak lagi merasakan sakit dan kehilangan berlebihan. Di sinilah titik di mana seseorang sudah betul-betul berdamai dengan keadaan atau kedukaan yang mereka hadapi. Dan terciptalah harapan-harapan baru. Alih-alih terus berkubang dalam kesedihan, maka lebih memilih untuk berjuang melakukan hal baik untuk kedepannya. Tidak berusaha merecoki masa lalu dan berandai – andai.

Memfokuskan diri pada hal yang memang dapat dikontrol dan dikendalikan, lantas memilih untuk melepaskan dan hal-hal diluar kendali diri sendiri. Sebab manusia adalah makhluk terbatas.

***

Faktanya, tidak semua orang harus berlama-lama melalui setiap tahap penerimaan. Seiring berjalannya waktu seseorang akan belajar dan mengenal setiap persoalan mereka terima. Sehingga bisa saja, dari tahap 1 langsung ke tahap 5. Namun, kadang kala sebagai manusia akan ada fase-fase di mana residu emosi itu akan tertarik kembali ke permukaan. Membuat manusia terpaksa harus mengulang memori terkait dengan peristiwa dan emosi pada suatu konflik tertentu. Membuat tak nyaman. Hanya saja efeknya tidak terlalu begitu nyata, mungkin disebabkan karena sisa-sisa memori yang terekam oleh otak dan hati manusia.

Aku pikir, semakin dewasa seseorang dan semakin banyak peristiwa yang mereka hadapi, membuatnya menjadi lebih bijak dalam memandang suatu persoalan. Dengan sendirinya dapat memetakan kiranya mana masalah sepele dan masalah rumit. Alhasil, mereka tidak perlu membuang-buang energi untuk terjebak dalam fase-fase yang tidak mengenakkan for so long time. Kenapa? Lelah dan membuang-buang waktu.

Menurutku kebanyakan orang yang masih sulit untuk move on dari kedukaan, sekalipun yang mungkin sifatnya tidak terlalu intens disebabkan karena…

  • Sudah terbiasa dengan zona nyaman dan hampir tidak pernah diterpa masalah & tekanan, sehingga membuat kesusahan untuk beradaptasi.
  • Susah menerima kritik dari sembarang orang (konteks permasalahan sehari-hari).
  • Belum banyak terpapar oleh pengalaman dan situasi di luaran sana.
  • Pribadi yang menganut asas perfeksionis dan idealism tinggi. Sehingga gagal memetakan gap antara fakta dan gagasan ideal yang miliki.
  • Mempunyai ekspektasi tinggi terhadap suatu hal.
  • Terlalu bergantung dan dekat dengan seseorang dan lingkungan, sehingga sukar beradaptasi.

Bukan masalah seberapa lama atau sebentarnya proses penerimaan diri seseorang, sebab tidak ada yang tahu benar apa yang dilalui oleh masing-masing orang.

Kembali lagi bahwa berat atau ringan permasalahan seseorang tidak bisa dinilai secara sepihak, begitu banyak hal yang menjadi latar belakang. Hanya orang yang bersangkutan yang bisa memahaminya. Dengan catatan, bahwa persoalan yang mereka hadapi tidak lantas menjadi dasar justifikasi bagi mereka untuk berbuat seenaknya dan malah merugikan orang lain.

***

(16/02/2023)

Enjoy the day, guys. Stay Happy and Healthy!

#Human#Berdamaidengandiri#GrievingProcess#5Stage of Acceptance

You Might Also Like

0 comments