Kepercayaan Yang Dinistakan

 


    Daratan dan perairan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, melebur utuh menjadi satu. Dahulu di pesisir laut selatan, dikisahkan  seorang raja manusia menjalin hubungan baik dengan penguasa laut, mereka bersahabat. Orang menyebut penguasa lautan dengan julukan Duyung. Parasnya jelita nan memesona, setiap mata akan tersihir ketika memandang wajahnya. Perangai  yang lembut melekat padanya, tak lupa Tuhan pun menganugerahinya dengan kekuatan dan kebaikan hati untuk menguasai lautan. Persahabatan keduanya begitu rekat, tidak ada keraguan untuk saling terbuka. Hingga ketamakan perlahan mendekam dalam hati dan pikiran Sang Raja, menghilangkan akal sehat dan nuraninya. Raja terlena dengan ambisi akan kuasa, ia mengingkari janji pada Penguasa Laut dan semesta. Sengaja Raja menjebak Ratu Duyung.

Sementara sang Ratu merasa dicurangi, hatinya remuk tak bersisa, kepercayaan yang telah ia berikan hancur berkeping-keping, tenggelam digulung ganasnya ombak lautan. Kemurkaannya didengar oleh semesta, dalam sekejap mata raja dan seluruh kerajaanannya tersapu habis oleh terjangan air laut, menyeretnya menuju dasar samudera. Semenjak saat itu, kaum duyung tak lagi mempercayai manusia, tak pernah lagi menampakkan diri,” Ujar Pak Baron, dosen mata kuliah mitologi.

Seluruh isi kelas termangu, seolah tersihir dengan kisah yang dituturkan pak Baron. Entah mengapa, perkataan beliau selalu mampu membuat pendengarnya terpana. Ketepatan diksi dalam narasi juga emosi yang dibubuhkan terkesan pas, seakan-akan beliaulah yang pernah mengalaminya.

“Baik semuanya, rupanya waktu saya mengajar sudah habis, Semoga hari kalian menyenangkan dan selamat berlibur. Saya permisi, terima kasih.” Pamit pak Boron, sembari melenggang pergi.

Suasana yang semula hening menjadi gaduh, hampir seluruh mahasiswa bersorak kegirangan. Tapi tidak dengan seorang gadis bertubuh langsing di kursi paling belakang. Hanya hembusan nafas lelah yang terdengar dari bibir mungilnya. Tak ada ekspresi tergambar di wajahnya, sama seperti hari – hari biasa. Tak ada gairah hidup yang terpancar, namun manik kelabunya tak bisa mengelabui kesakitan yang ia rasa, hanya sosok jeli yang mampu memahami. Setelah menunggu, gadis itu beranjak berdiri, bangkit dari duduknya lalu melangkah santai hendak meninggalkan kelas yang dirasa makin sepi populasi. Namun, ketika hendak menyentuh gagang pintu, terdengar suara menginterupsi yang lantas membuat langkahnya terhenti.

“Hi, Athenna. Masih ingat aku?” sapa seseorang dengan keremahan yang terlampau berlebihan.

Athenna tak langsung menyahuti, sesaat ia termenung dengan kerutan dikening mencoba mengingat sosok yang berdiri menjulang dihadapannya.

“Kau, Zhenobia bukan? Mahasiswa pindahan dari Jakarta yang membuat heboh seantero kampus,” lantas Athenna berujar.

“Emm, ya betul sekali. Panggil saja aku Zheno. Rupanya ingatanmu tajam, pilihan yang tepat menjadi mahasiswa  jurusan sastra,” timpal Zheno dengan cengiran kuda menyebalkan, sedang Athenna tetap pada ekspresi datarnya.

Sadar dengan atmosfer kecanggungan yang melingkupi, Zheno berinisiatif untuk membuka pintu keluar dan mempersilahkan Athenna mendahuluinya. Keduanya berjalan beriringan.  Tak mengherankan jika puluhan pasang mata menatap dengan heran, seakan melihat kejadian langka. Namun, tak sedikit juga yang terang-terangan menatap tidak suka dan melontarkan celetukan pedas. Sayangnya keduanya tidak peduli, terlebih Athenna.

“Omong-omong, tentang kisah putri duyung tadi, apakah kau percaya?” tanya Zheno secara tiba-tiba.

Athenna mengerjap lalu terdiam sejenak, terkejut dengan pertanyaan yang tidak disangka akan ia dapatkan. Apalagi untuk orang yang baru saja ia kenal, terlalu berani.

“Aa..a..aku tak mempercayainnya. Itu hanya omong kosong belaka. Jika memang ada,  pasti setidaknya seseorang pernah bertemu. Toh jika dilihat lagi, ratusan tahun mitos itu diteliti, nyatanya tetap nihil tak pernah ada bukti valid.” balas Athenna dengan tergagap.

Kali ini Zheno yang heran, namun perlahan tergantikan dengan senyum memukau yang terbit di bibirnya, memamerkan lesung pipi yang melekuk seperti palung.

“Begitu. kalau menurutku mereka ada, hanya saja sengaja bersembunyi, enggan mengungkap keberadaan dirinya. Entahlah aku merasa sepertinya, kaum duyung kini hidup bebas di lautan lepas.” Kukuh Zheno.

“Ya mungkin saja, baguslah jika putri duyung memang ada. Setidaknya banyak orang akan terhibur dan merasa tertolong akan kehadirannya,” Athenna berujar tak nyaman.

“Apakah kau akan terus mengikutiku, Zheno?” sambung Athenna sarkastik.

“Ah ya, maafkan aku. Baiklah sepertinya aku akan pulang. Lalu, kau bagaimana? Mau ku antar?” tawar Zheno.

“Tak usah repot, aku masih ada urusan. Silahkan saja duluan,” pungkas Athenna.

“Okay, kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa besok.” Pamit Zheno sembari melambaikan tangan yang hanya ditanggapi dengan tatapan sinis Athenna.

Keduanya berpisah, Zheno tetap pada posisinya mengamati kepergian Athenna ia penasaran dengan gadis itu, mengapa Athenna pergi menuju halaman belakang kampus. Aneh sekali, tidak-tanduknya mencurigakan. Saat sedang asik menatap objek yang perlahan menjauh dari pandangannya, Zheno dikejutkan dengan keberadaan pak Baron yang menatapnya tak suka dengan interaksinya dan Athenna, tetapi Zheno hanya memberikan senyum tipis lantas beranjak pergi.

***

Senja menampakkan diri, sebentar lagi sang surya akan kembali keperaduan menuju pelukan semesta. Menyembunyikan seberkas sinar cantiknya yang tersisa, menanti malam menghampiri. Di sinilah ia, seorang diri berada di halaman belakang kampus. Rutinitas yang selalu Athenna lakukan ketika kelas usai. Berdiri jejak di dekat sumur tua, bertopangkan kaki jenjangnya sembari memandang lurus ke dalam sumur. Surai hitam panjangnya melambai-lambai tertiup angin sore yang kian berhembus kencang. Entah apa yang ia lihat setiap harinya. Seperti saat ini, duduk di tepian dalam sumur dengan sesekali mengayun-ayunkan kaki. Athenna mencondongkan tubuhnya ke depan. Sumur itu besar, gelap dan dalam. Tak lama ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas, lalu dengan sengaja ia taburkan benda dalam genggamannya ke dalam sumur. Samar terdengar suara menggema. Sorot matanya tak menyiratkan emosi apapun. Sekitar satu jam waktu yang gadis itu habiskan dan langit di atasnya benar-benar mulai menggelap. Athenna beranjak pergi dari sana.

Sementara tanpa Athenna sadari, sedari tadi seorang pemuda tak luput mengamati gerak-gerik gadis itu. Pemuda itu bersembunyi di balik tembok gedung, terhalang semak tinggi. Dari posisinya ia dapat dengan leluasa mengamati setiap hal yang Athenna lakukan. Rasa curiga  sekaligus penasaran menguar dalam benak pemuda itu.

***

Saat istirahat, sudah menjadi kebiasaan bagi mahasiswa jurusan sastra untuk bercengkrama atau sekedar menghilangkan penat di kantin tepat diujung lorong gedung fakultas. Suasananya sangat mendukung, selalu ada canda tawa yang mengisi. Athenna, turut serta bersama dengan yang lainnya. Meskipun ia pendiam dan terkesan tak terbuka, bukan berarti ia menarik diri dari lingkungan sosial. Hanya saja ia tak bisa sembarang berinteraksi dengan orang lain, apalagi jika harus berlama-lama. Hari ini matanya terlihat sembab dibingkai oleh kantung hitam yang tercetak jelas. Semua yang di sana menyadarinya, namun tak ada yang bertanya.

Tepat dihadapannya ada Zhenobia, lalu di samping kiri, duduk Ambar si jelita yang tak disadarinya menatap dengan rasa jengah. Sedang di kanannya ada Aluna , sisanya Zordio, Zoro, serta Zefiro yang duduk melingkari meja bundar. Seperti biasa, Athenna akan menjadi pendengar setia sekaligus pengamat dan tak seorang pun keberatan akan hal itu.

“Hey, sebentar lagi kita akan libur. Apakah kalian akan menghabiskan waktu di rumah saja, tidakkah kalian ingin berkunjung ke suatu tempat?” celetuk Zefiro.

“Aqkkuh ingien pfergihh kkehhh gjhunungg, zasangatt ingien schekhaliichh,” Zoro langsung menyahut dengan mulutnya yang tersumpal penuh dengan makanan.

“Telan dulu makananmu, Zoro! Menjijikkan kau tau,” hardik Aluna beserta tisu gulung yang hinggap di wajah Zoro. Sontak semuanya terbahak, hingga  tersedak tawanya sendiri.

“Gunung sepertinya asik, tetapi saat ini sedang musim hujan, Tentu sangat berisiko, belum lagi sepertinya akan sulit mendapatkan izin dari orang tuaku,” lanjut Aluna.

“Setuju dengan Aluna, akan sangat berisiko.” timpal Zordio dan Ambar.

“Hmm, bagaimana kalau pantai tepatnya pantai Selatan Yogyakarta,” sela Zheno tiba-tiba dengan senyum manis yang mengembang di wajahnya.

“Ya Tuhan, kenapa tidak terpikirkan sebelumya. Beruntung sekali kalau kita bertemu dengan putri Duyung hahaha. Lalu, bagaimana kalau kita ke sana sembari touring mengendarai motor, sekalian menikmati jalanan? Sergah Zordio dengan girang.

“Aku tak ingin pergi.” Athenna berucap.

“Tidak, kau harus ikut, kau sudah berjanji padaku Athenna. Ingatlah !!!” sergah Aluna

“Taaa…tapi…” Athenna berupaya menolak, sedang Zhenno menaikkan alisnya heran.

“Ingat janjimu, Athenna.” Ujar Aluna dengan penuh penekanan yang membuat Athenna pasrah tak berkutik.

“Athenna, apa kau mau ku bonceng? Tenang saja kau akan selamat hingga tujuan, tak kurang suatu apapun? Tanya Zheno lantang, Zefiro yang sempat akan membuka mulut untuk bersuara menjadi kikuk.

“Baiklah, terserah kau saja.” Tutur Athenna mengiyakan dengan enggan.

***

Sudah sejak kemarin mereka tiba di Yogya. Tak hanya berenam tetapi menjadi rombongan sekitar 11 orang, pak Baron pun turut serta. Berbeda dengan lainnya, Athenna selalu merasa terusik dengan adanya pak Baron, sebab beliau selalu menampakkan raut tak suka padanya.  Kini mereka berada di pantai,  menikmati eloknya panorama yang disuguhkan. Deburan omak yang pecah menghantam bibir pantai, lalu menyeret cairan asin itu kembali ke tengah lautan menyisakan sulur-sulur tak beraturan di atas pasir, nampak bagai urat nadi yang tercecer. Di sebelah kanan dan kiri pantai terbentang hamparan tebing tinggi, bola mata akan senantiasa terbelalak seketika kala memandang takjub pemandangan yang terhampar.

Saatnya bermain, mereka hendak memainkan putri Duyung dan Bajak Laut. Mudah namun agak rumit. Mereka dibagi menjadi dua regu , satu regu 4 orang berperan sebagai Duyung dan regu lain, 6 orang sebagai Bajak Laut. Pak Baron yang menjadi hakimnya. Kedua regu mempunyai pos jaga sebagai tempat berkuasa dan memenjarakan tawanan. Setiap anggota akan mengejar dan menanggap anggota lawan, kemudian tawanan digiring menuju pos jaga. Satu orang hanya bisa membawa satu tawanan ke pos jaga, baru diperbolehkan untuk menangkap mangsa lain dan menjadikannya tawanan. Tantangannya ialah, setiap tawanan bisa dilepaskan oleh anggotanya sendiri, bergantung bagaimana kecerdikan mereka. Peraturan lain, seorang Duyung diperbolehkan menangkap seorang Bajak Laut, tapi tidak sebaliknya. Seorang putri Duyung hanya bisa ditangkap oleh dua orang Bajak Laut. Jika dilanggar maka akan menjadi bumerang untuk Bajak Laut. Tidak adil bukan? Entah, nyatanya permainan itu masih saja populer untuk dimainkan.

Mereka bermain di area pantai hingga daerah tebing. Mereka dibebaskan untuk saling berkejaran semaunya. Permainan dimulai, sontak suasana menjadi riuh penuh dengan cekikikan tawa dan teriakan histeris. Mereka terus berlari dan saling mengejar. Athenna masuk ke dalam regu bajak laut. Ia terlampau focus berlari, sengaja menjauhi bibir pantai hingga terpencar dari gerombolan regunya. Ia terus berlari menuju tebing di sayap kanan pantai menghindari kejaran Ambar yang berperan sebagai Duyung. Keduanya berlarian hingga tiba di puncak  tebing dengan napas tesengal, tanda membutuhkan pasokan oksigen berlebih. Namun, tak diduga-duga bukanya menjauh Ambar justru semakin mendekat, menggiring Athena menuju tepian tebing.  Benar saja, tak ada kesempatan bagi Athenna untuk menghindar ketika tubuhnya semakin didorong oleh Ambar.

“Ambar, apa yang kau lakukann? Kita berdua bisa jatuh ke bawah.” Umpat Athenna, sesekali menatap ngeri ke bawah. Ia tak takut jika harus terjun ke bawah, tetapi benakknya jauh menerawang ke depan.

“Oh jelas bukan aku, tetapi kau yang akan terjun sendirian. Aku sudah muak denganmu yang selalu saja mendapat perhatian lebih dari semua orang.” bentak Ambar, dengan wajah merah padam.

Ambar yang justru kehilangan pijakan, tergelincir dari pinggiran tebing, sementara Athenna tak sanggup menahan tubuhnya dan juga Ambar. Dan…

Gresessekkkk, Byuurrrr…

Keduanya terperosok jatuh. Tubuh keduanya terpelanting ke bawah. Dirasa sesuatu yang dingin menerpa kulitnya, Athenna terbelalak sejenak. Lalu semua memburam.

***

Gadis itu tetap enggan membuka kelopak matanya, terbaring dengan tenang di atas ranjang besar nan megah. Sementara, dua sosok disebelahnya menatapnya dengan intens gadis yang terlihat tak berdaya itu.

“Tuan, apakah dia tak apa? Mengapa tak kunjung sadar?” tanya sebuah suara.

“Dia tak apa paman, alam bawah sadarnya yang tak menghendaki gadis itu untuk bangun. Ia seperti tak memiliki gairah hidup. Gadis naif,” pungkas sosok itu.

Ketika di puncak tebing sosok itu cukup kaget mengamati pertikaian dua orang dihadapannya, tetapi ia tak gegabah. Ia menyaksikan dua orang itu terperosok dan disusul suara debuman tanda sesuatu jatuh menghantam air di bawah sana. Sontak ia pun turut serta melompat ke bawah, lalu di sinilah ia berada bersama dengan gadis yang telah ia selamatkan.

Sosok itu menyentuh lamat-lamat pergelangan tangan si gadis, mengamati dengan hikmat sayatan memanjang yang berlapis-lapis. Seperti ukiran yang sengaja dibentuk. Sosok itu berjengit ngeri membayangkan tatkala benda tajam menyayat tangan gadis di sebelahnya ini. Ia terdiam, ingatannya kembali pada peristiwa itu, memutar memori yang masih jelas terekam.

Flashback…

Dari arah rumah terdengar teriakan melengking dari seorang wanita disertai dengan bunyi benda tumpul yang menghantam sesuatu.

            “Bodoh sekali! Tidak tau diuntung, dasar anak tidak berguna. Coba lihat adik-adikmu, sama sekali tidak pernah membuatku marah. Kalau saja kau taka da, aku kini sudah hidup nyaman di luar negeri. Pembawa sial, mati saja kau bersama ayahmu!” hardik wanita itu.

            “Ibu ampunn,” pinta gadis itu, tapi tak digubris oleh wanita yang dipanggilnya ibu. Bahkan saat tubuhnya melemah, sabetan sapu masih menghujani punggungnya.

            Susah payah gadis itu bangkit  sambil menahan sakit di tubuhnya. Bulir bening terus meluncur dari durja cantiknya. Ia melangkah terseok-seok hingga behenti di depan sebuah gundukan tanah, menatapnya dengan pilu.

            Dari jauh sosok itu mengamati apa yang dialami gadis itu. Tatapannya menajam dengan rahang mengeras, lalu tanggannya mengepal erat.

“Dasar manusia durjana tak berhati,” batinnya.

Lamunan sosok pemuda itu terhenti ketika sebuah suara mengusiknya.

“Arrg…arrgghhh.” Kesadaran gadis itu telah kembali. Ya gadis itu Athenna, ia beranggapan bahwa ia telah mati, Bagaimana tidak, di tempatnya berada seperti sebuah akuarium raksasa. Megah dan indah. Ia seakan hidup di dunia air, di sekelilingnya berlalu lalang makhluk air yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Indah, satu kata yang mewakilinya. Sudut bibirnya tertarik  membentuk senyum tipis. Tak cukup sampai di situ, ia terkejut bukan kepalang ketika melihat makhluk mitologi yang beberapa waktu lalu menjadi bahan perbincakan di kelas, bahkan ia memainkan permainannya. Putri Duyung. Apakah ia sedang berhalusinasi, batinnnya.

“Sudah sadar, rupanya,” terdengar sebuah suara. Matanya terbelalak lebar, tak percaya dengan dua sosok yang kini berada di sampingnya.

“Ba..bbaa…bagaimana mungkin? Kaa..kau… ini tak nyata bukan? Putri Duyung hanyalah dongeng belaka,” Athenna bertanya, lebih kepada dirinya.

Sebagai jawaban, hanya senyuman geli yang terukir di bibir pemuda itu. Mencoba maklum atas keterkejutan Athenna.

“Benar, Athenna kami nyata. Kau tak bermimpi, bahkan sekarang kau pun tengah bernapas di dalam air.” Jelas pemuda itu panjang lebar. Athenna pun menegang sesaat, lalu membenarkan ucupan pemuda itu.

“Lalu di mana Ambar berada?” tak ada jawaban dari pertanyaan Athenna.

“Kemarilah Athenna, ikut aku. Ayo kita berkeliling. Tak apa,” tawar pemuda itu.

Athenna pun mengikuti kemauan pemuda itu, sembari menerima uluran tangan yang terjulur ke arahnya.  Gadis itu dibawa berkeliling mengitari dasar lautan. Ketakjubannya tak pernah surut, namun rasa penasaran begitu mendominasi hatinya.  Rupanya tak hanya dunia manusia yang menyimpan jutaan kearifan, di sini pun sama bahkan terkesan tak masuk akal. Ajaib. Tumbuhan unik terhampar di mana pun. Makhluk laut menyapanya sembari melambai-lambaikan tangan. Beberapa spesies ikan pun menghampirinya, sengaja mengajaknya bermain. Tak terasa, tawa terdengar dari bibir mungil Athenna, tawa yang sebelumnya tak pernah ada.

Athenna  dibawa menuju sebuah pemukiman unik. Para Duyung tinggal di sana. Hunian mereka tak seperti manusia, mereka hidup dalam bangunan seperti karang raksasa. Setiap ras duyung memiliki corak berbeda pada ekornya, tak hanya tampilan fisik dari segi kebiasaan dan adat budaya pun berbeda. Seperti sekarang, hunian para duyung memiliki bentuk yang berbeda, juga warna yang khas. Senyum Athenna semakin merekah, tatkala beberapa duyung menyapanya.

“Dengar Athenna, aku dan kaum ku diciptakan dalam wujud manusia dan setengah ikan. Kami dimandatkan untuk menjaga lautan. Kami bisa berubah menjadi manusia seutuhnya dan tak akan berubah menjadi duyung ketika mengenakan kalung mutiara ini.  Eksistensi kami ada di dunia ini.” ujar Zheno. Tepat sekali, pemuda itu adalah Zennobia.

“Kami hidup seperti manusia, kami memerlukan kebutuhan dasar, kebutuhan biologis, dan menjalin interaksi dengan satu sama lain. Bedanya kaum kami tidak serakah karena selalu merasa cukup. Lihat Athenna lautan adalah rumah kami.” Lanjut, Zheno.

“Keserakahan? Apakah ini ada kaitannya dengan kisah putri Duyung dan Sang Raja, Zenno?” sergah Athenna.

“Ya, kedua penguasa itu dulu bersahabat dekat. Saling bahu membahu mensejahterahkan kehidupan rakyatnya. Ratu Duyung menaruh kepercayaan penuh kepada Raja itu. Ia tak segan menolong Raja. Namun, sebagaimana sifat manusia yang selalu ingkar, Raja itu menghianati kami, demi memperoleh kekuasaan dan kekuatan.. Ia telah dibutakan oleh keserakahan. Ia sengaja mencelakai dan mempermalukan sang Ratu dihadapan seluruh makhluk salah satunya ialah Paman Baron. “ Zheno terdiam sejenak dengan pandangan menerawang jauh.

“Tetapi semesta tak pernah tinggal diam, semesta mampu mendengarkan. Seperti halnya lautan yang mengadili ketidakbenaran, menyeimbangkan ketidakadilan, hingga sanggup meluluh lantahkan kerajaan manusia dengan gelombang dahyatnya.” Ujar Zheno dengan lirih.

“Sejak saat itu kami menghindari manusia, kami tak lagi mempercayai mereka. Kami hanya akan muncul ke permukaan ketika laut sedang pasang bersamaan dengan badai yang menerjang, karena saat itu manusia tak berani mendekati ganasnya lautan.” Imbuh Zheno dengan suara sarat akan kemarahan.

“Lalu mengapa kau dan pak Baron pergi ke dunia kami, Zhenno?” tanya Athenna.

“Kau tau sumur tua di belakang kampus? Itu adalah gerbang menuju dunia kami. Banyak diantara kaum kalian yang punya niat jahat Athenna. Mereka menyalahgunakan kekuatan yang mereka miliki. Oleh karenanya, sesekali aku harus pergi ke dunia kalian untuk memastikan. Dan tak kusangka kau sering sekali menghabiskan waktu di sana, membuatku curiga.” Jelas Zheno.

“ Ya, aku suka memberi makan ikan di dalam sumur tua itu. Kau belum jawab pertanyaanku Zhenno, dimana Ambar dan kenapa kau selamatkan aku?”

Tak ada penjelasan lagi yang dapat Athenna dengar dari Zhenno, karena tiba-tiba semua menggelap, kesadarannya hilang entah kemana.

***

“Uhukkk…uhukkk…” Athenna tersadar, ia ada di bibir pantai saat pertama kali membuka mata. Kala itu langit telah menggelap. Sebuah botol berisi gulungan kertas ada dalam kenggamannya. Ia membukan dan  membacanya, menyusuri tiap aksara yang ditulis oleh empunya.

Athenna, ketika kau sadar nanti, kau sudah kembali pada duniamu begitu pun aku. Ambar telah menjadi milik lautan, itu merupakan buah dari apa yang telah ia tanam. Kau terkejut bukan? Lalu, mengapa aku menyelamatkanmu? Karena kau berbeda, hatimu bersih. Kau punya belas kasih.  Lautan hanya akan mengadili dan menenggelamkan manusia bodoh dan serakah. Sementara tidak denganmu. Ingatanmu tentang dunia kami bergantung pada dirimu , kau akan tetap mengingatnya ketika semua tetap menjadi rahasia. Namun, akan hilang dalam sekejap ketika kau ingkari.

Athenna, hidup memanglah tak mudah dan terkesan kejam. Aku tau, kau hidup dalam penolakan, tak diinginkan dan merasa diasingkan. Ketahuilah kau berharga, Athenna! Ingatlah, semesta mampu mendengar rintihan tangismu juga jeritan pilu batinmu. Semesta menyaksikan apapun yang kau alami. Tunggulah hingga tiba saatnya semesta bekerja untuk mengadili, jalani hidupmu dengan baik, syukuri dan hargai setiap detik waktu yang kau lalui. Buktikan padaku, bahwa tak semua manusia sanggup menistakan kepercayaan yang diberikan.

Berjanjilah. Athenna. Kau berharga, hatimu bak gemerlam Mutiara

Zhenobia.”

***

“Dunia memang seolah tak adil untuk siapapun, senantiasa berubah begitu pun hati manusia. Kepercayaan direnggut oleh penghianatan, pengharapan ikut terhempas entah kemana. Namun, semesta akan bekerja untuk mengadilinya.”


You Might Also Like

0 comments