“Daratan
dan perairan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, melebur utuh menjadi
satu. Dahulu di pesisir laut selatan, dikisahkan seorang raja manusia menjalin hubungan baik
dengan penguasa laut, mereka bersahabat. Orang menyebut penguasa lautan dengan
julukan Duyung. Parasnya jelita nan memesona, setiap mata akan tersihir ketika
memandang wajahnya. Perangai yang lembut
melekat padanya, tak lupa Tuhan pun menganugerahinya dengan kekuatan dan kebaikan
hati untuk menguasai lautan. Persahabatan keduanya begitu rekat, tidak ada
keraguan untuk saling terbuka. Hingga ketamakan perlahan mendekam dalam hati
dan pikiran Sang Raja, menghilangkan akal sehat dan nuraninya. Raja terlena
dengan ambisi akan kuasa, ia mengingkari janji pada Penguasa Laut dan semesta. Sengaja
Raja menjebak Ratu Duyung.
Sementara
sang Ratu merasa dicurangi, hatinya remuk tak bersisa, kepercayaan yang telah
ia berikan hancur berkeping-keping, tenggelam digulung ganasnya ombak lautan.
Kemurkaannya didengar oleh semesta, dalam sekejap mata raja dan seluruh
kerajaanannya tersapu habis oleh terjangan air laut, menyeretnya menuju dasar
samudera. Semenjak saat itu, kaum duyung tak lagi mempercayai manusia, tak
pernah lagi menampakkan diri,” Ujar Pak Baron, dosen
mata kuliah mitologi.
Seluruh
isi kelas termangu, seolah tersihir dengan kisah yang dituturkan pak Baron. Entah
mengapa, perkataan beliau selalu mampu membuat pendengarnya terpana. Ketepatan
diksi dalam narasi juga emosi yang dibubuhkan terkesan pas, seakan-akan
beliaulah yang pernah mengalaminya.
“Baik
semuanya, rupanya waktu saya mengajar sudah habis, Semoga hari kalian
menyenangkan dan selamat berlibur. Saya permisi, terima kasih.” Pamit pak Boron,
sembari melenggang pergi.
Suasana
yang semula hening menjadi gaduh, hampir seluruh mahasiswa bersorak kegirangan.
Tapi tidak dengan seorang gadis bertubuh langsing di kursi paling belakang.
Hanya hembusan nafas lelah yang terdengar dari bibir mungilnya. Tak ada ekspresi
tergambar di wajahnya, sama seperti hari – hari biasa. Tak ada gairah hidup
yang terpancar, namun manik kelabunya tak bisa mengelabui kesakitan yang ia rasa,
hanya sosok jeli yang mampu memahami. Setelah menunggu, gadis itu beranjak
berdiri, bangkit dari duduknya lalu melangkah santai hendak meninggalkan kelas
yang dirasa makin sepi populasi. Namun, ketika hendak menyentuh gagang pintu, terdengar
suara menginterupsi yang lantas membuat langkahnya terhenti.
“Hi,
Athenna. Masih ingat aku?” sapa seseorang dengan keremahan yang terlampau
berlebihan.
Athenna
tak langsung menyahuti, sesaat ia termenung dengan kerutan dikening mencoba
mengingat sosok yang berdiri menjulang dihadapannya.
“Kau,
Zhenobia bukan? Mahasiswa pindahan dari Jakarta yang membuat heboh seantero
kampus,” lantas Athenna berujar.
“Emm,
ya betul sekali. Panggil saja aku Zheno. Rupanya ingatanmu tajam, pilihan yang
tepat menjadi mahasiswa jurusan sastra,”
timpal Zheno dengan cengiran kuda menyebalkan, sedang Athenna tetap pada
ekspresi datarnya.
Sadar
dengan atmosfer kecanggungan yang melingkupi, Zheno berinisiatif untuk membuka
pintu keluar dan mempersilahkan Athenna mendahuluinya. Keduanya berjalan
beriringan. Tak mengherankan jika
puluhan pasang mata menatap dengan heran, seakan melihat kejadian langka.
Namun, tak sedikit juga yang terang-terangan menatap tidak suka dan melontarkan
celetukan pedas. Sayangnya keduanya tidak peduli, terlebih Athenna.
“Omong-omong,
tentang kisah putri duyung tadi, apakah kau percaya?” tanya Zheno secara tiba-tiba.
Athenna
mengerjap lalu terdiam sejenak, terkejut dengan pertanyaan yang tidak disangka
akan ia dapatkan. Apalagi untuk orang yang baru saja ia kenal, terlalu berani.
“Aa..a..aku
tak mempercayainnya. Itu hanya omong kosong belaka. Jika memang ada, pasti setidaknya seseorang pernah bertemu. Toh
jika dilihat lagi, ratusan tahun mitos itu diteliti, nyatanya tetap nihil tak
pernah ada bukti valid.” balas Athenna dengan tergagap.
Kali
ini Zheno yang heran, namun perlahan tergantikan dengan senyum memukau yang
terbit di bibirnya, memamerkan lesung pipi yang melekuk seperti palung.
“Begitu.
kalau menurutku mereka ada, hanya saja sengaja bersembunyi, enggan mengungkap
keberadaan dirinya. Entahlah aku merasa sepertinya, kaum duyung kini hidup
bebas di lautan lepas.” Kukuh Zheno.
“Ya
mungkin saja, baguslah jika putri duyung memang ada. Setidaknya banyak orang
akan terhibur dan merasa tertolong akan kehadirannya,” Athenna berujar tak
nyaman.
“Apakah
kau akan terus mengikutiku, Zheno?” sambung Athenna sarkastik.
“Ah
ya, maafkan aku. Baiklah sepertinya aku akan pulang. Lalu, kau bagaimana? Mau
ku antar?” tawar Zheno.
“Tak
usah repot, aku masih ada urusan. Silahkan saja duluan,” pungkas Athenna.
“Okay,
kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa besok.” Pamit Zheno sembari melambaikan
tangan yang hanya ditanggapi dengan tatapan sinis Athenna.
Keduanya
berpisah, Zheno tetap pada posisinya mengamati kepergian Athenna ia penasaran
dengan gadis itu, mengapa Athenna pergi menuju halaman belakang kampus. Aneh
sekali, tidak-tanduknya mencurigakan. Saat sedang asik menatap objek yang
perlahan menjauh dari pandangannya, Zheno dikejutkan dengan keberadaan pak
Baron yang menatapnya tak suka dengan interaksinya dan Athenna, tetapi Zheno
hanya memberikan senyum tipis lantas beranjak pergi.
***
Senja
menampakkan diri, sebentar lagi sang surya akan kembali keperaduan menuju pelukan
semesta. Menyembunyikan seberkas sinar cantiknya yang tersisa, menanti malam
menghampiri. Di sinilah ia, seorang diri berada di halaman belakang kampus.
Rutinitas yang selalu Athenna lakukan ketika kelas usai. Berdiri jejak di dekat
sumur tua, bertopangkan kaki jenjangnya sembari memandang lurus ke dalam sumur.
Surai hitam panjangnya melambai-lambai tertiup angin sore yang kian berhembus
kencang. Entah apa yang ia lihat setiap harinya. Seperti saat ini, duduk di
tepian dalam sumur dengan sesekali mengayun-ayunkan kaki. Athenna mencondongkan
tubuhnya ke depan. Sumur itu besar, gelap dan dalam. Tak lama ia mengeluarkan
sesuatu dari dalam tas, lalu dengan sengaja ia taburkan benda dalam
genggamannya ke dalam sumur. Samar terdengar suara menggema. Sorot matanya tak
menyiratkan emosi apapun. Sekitar satu jam waktu yang gadis itu habiskan dan
langit di atasnya benar-benar mulai menggelap. Athenna beranjak pergi dari
sana.
Sementara
tanpa Athenna sadari, sedari tadi seorang pemuda tak luput mengamati
gerak-gerik gadis itu. Pemuda itu bersembunyi di balik tembok gedung, terhalang
semak tinggi. Dari posisinya ia dapat dengan leluasa mengamati setiap hal yang
Athenna lakukan. Rasa curiga sekaligus
penasaran menguar dalam benak pemuda itu.
***
Saat
istirahat, sudah menjadi kebiasaan bagi mahasiswa jurusan sastra untuk
bercengkrama atau sekedar menghilangkan penat di kantin tepat diujung lorong gedung
fakultas. Suasananya sangat mendukung, selalu ada canda tawa yang mengisi.
Athenna, turut serta bersama dengan yang lainnya. Meskipun ia pendiam dan
terkesan tak terbuka, bukan berarti ia menarik diri dari lingkungan sosial.
Hanya saja ia tak bisa sembarang berinteraksi dengan orang lain, apalagi jika
harus berlama-lama. Hari ini matanya terlihat sembab dibingkai oleh kantung hitam
yang tercetak jelas. Semua yang di sana menyadarinya, namun tak ada yang
bertanya.
Tepat
dihadapannya ada Zhenobia, lalu di samping kiri, duduk Ambar si jelita yang tak
disadarinya menatap dengan rasa jengah. Sedang di kanannya ada Aluna , sisanya
Zordio, Zoro, serta Zefiro yang duduk melingkari meja bundar. Seperti biasa,
Athenna akan menjadi pendengar setia sekaligus pengamat dan tak seorang pun
keberatan akan hal itu.
“Hey,
sebentar lagi kita akan libur. Apakah kalian akan menghabiskan waktu di rumah
saja, tidakkah kalian ingin berkunjung ke suatu tempat?” celetuk Zefiro.
“Aqkkuh
ingien pfergihh kkehhh gjhunungg, zasangatt ingien schekhaliichh,” Zoro
langsung menyahut dengan mulutnya yang tersumpal penuh dengan makanan.
“Telan
dulu makananmu, Zoro! Menjijikkan kau tau,” hardik Aluna beserta tisu gulung
yang hinggap di wajah Zoro. Sontak semuanya terbahak, hingga tersedak tawanya sendiri.
“Gunung
sepertinya asik, tetapi saat ini sedang musim hujan, Tentu sangat berisiko,
belum lagi sepertinya akan sulit mendapatkan izin dari orang tuaku,” lanjut
Aluna.
“Setuju
dengan Aluna, akan sangat berisiko.” timpal Zordio dan Ambar.
“Hmm,
bagaimana kalau pantai tepatnya pantai Selatan Yogyakarta,” sela Zheno
tiba-tiba dengan senyum manis yang mengembang di wajahnya.
“Ya
Tuhan, kenapa tidak terpikirkan sebelumya. Beruntung sekali kalau kita bertemu
dengan putri Duyung hahaha. Lalu, bagaimana kalau kita ke sana sembari touring
mengendarai motor, sekalian menikmati jalanan? Sergah Zordio dengan girang.
“Aku
tak ingin pergi.” Athenna berucap.
“Tidak,
kau harus ikut, kau sudah berjanji padaku Athenna. Ingatlah !!!” sergah Aluna
“Taaa…tapi…”
Athenna berupaya menolak, sedang Zhenno menaikkan alisnya heran.
“Ingat
janjimu, Athenna.” Ujar Aluna dengan penuh penekanan yang membuat Athenna
pasrah tak berkutik.
“Athenna,
apa kau mau ku bonceng? Tenang saja kau akan selamat hingga tujuan, tak kurang
suatu apapun? Tanya Zheno lantang, Zefiro yang sempat akan membuka mulut untuk
bersuara menjadi kikuk.
“Baiklah,
terserah kau saja.” Tutur Athenna mengiyakan dengan enggan.
***
Sudah
sejak kemarin mereka tiba di Yogya. Tak hanya berenam tetapi menjadi rombongan
sekitar 11 orang, pak Baron pun turut serta. Berbeda dengan lainnya, Athenna selalu
merasa terusik dengan adanya pak Baron, sebab beliau selalu menampakkan raut
tak suka padanya. Kini mereka berada di
pantai, menikmati eloknya panorama yang
disuguhkan. Deburan omak yang pecah menghantam bibir pantai, lalu menyeret
cairan asin itu kembali ke tengah lautan menyisakan sulur-sulur tak beraturan
di atas pasir, nampak bagai urat nadi yang tercecer. Di sebelah kanan dan kiri
pantai terbentang hamparan tebing tinggi, bola mata akan senantiasa terbelalak
seketika kala memandang takjub pemandangan yang terhampar.
Saatnya
bermain, mereka hendak memainkan putri Duyung dan Bajak Laut. Mudah namun agak
rumit. Mereka dibagi menjadi dua regu , satu regu 4 orang berperan sebagai
Duyung dan regu lain, 6 orang sebagai Bajak Laut. Pak Baron yang menjadi
hakimnya. Kedua regu mempunyai pos jaga sebagai tempat berkuasa dan
memenjarakan tawanan. Setiap anggota akan mengejar dan menanggap anggota lawan,
kemudian tawanan digiring menuju pos jaga. Satu orang hanya bisa membawa satu
tawanan ke pos jaga, baru diperbolehkan untuk menangkap mangsa lain dan
menjadikannya tawanan. Tantangannya ialah, setiap tawanan bisa dilepaskan oleh
anggotanya sendiri, bergantung bagaimana kecerdikan mereka. Peraturan lain, seorang
Duyung diperbolehkan menangkap seorang Bajak Laut, tapi tidak sebaliknya.
Seorang putri Duyung hanya bisa ditangkap oleh dua orang Bajak Laut. Jika
dilanggar maka akan menjadi bumerang untuk Bajak Laut. Tidak adil bukan? Entah,
nyatanya permainan itu masih saja populer untuk dimainkan.
Mereka
bermain di area pantai hingga daerah tebing. Mereka dibebaskan untuk saling
berkejaran semaunya. Permainan dimulai, sontak suasana menjadi riuh penuh
dengan cekikikan tawa dan teriakan histeris. Mereka terus berlari dan saling
mengejar. Athenna masuk ke dalam regu bajak laut. Ia terlampau focus berlari, sengaja
menjauhi bibir pantai hingga terpencar dari gerombolan regunya. Ia terus berlari
menuju tebing di sayap kanan pantai menghindari kejaran Ambar yang berperan
sebagai Duyung. Keduanya berlarian hingga tiba di puncak tebing dengan napas tesengal, tanda
membutuhkan pasokan oksigen berlebih. Namun, tak diduga-duga bukanya menjauh
Ambar justru semakin mendekat, menggiring Athena menuju tepian tebing. Benar saja, tak ada kesempatan bagi Athenna
untuk menghindar ketika tubuhnya semakin didorong oleh Ambar.
“Ambar,
apa yang kau lakukann? Kita berdua bisa jatuh ke bawah.” Umpat Athenna,
sesekali menatap ngeri ke bawah. Ia tak takut jika harus terjun ke bawah,
tetapi benakknya jauh menerawang ke depan.
“Oh
jelas bukan aku, tetapi kau yang akan terjun sendirian. Aku sudah muak denganmu
yang selalu saja mendapat perhatian lebih dari semua orang.” bentak Ambar,
dengan wajah merah padam.
Ambar
yang justru kehilangan pijakan, tergelincir dari pinggiran tebing, sementara
Athenna tak sanggup menahan tubuhnya dan juga Ambar. Dan…
Gresessekkkk,
Byuurrrr…
Keduanya
terperosok jatuh. Tubuh keduanya terpelanting ke bawah. Dirasa sesuatu yang
dingin menerpa kulitnya, Athenna terbelalak sejenak. Lalu semua memburam.
***
Gadis
itu tetap enggan membuka kelopak matanya, terbaring dengan tenang di atas
ranjang besar nan megah. Sementara, dua sosok disebelahnya menatapnya dengan
intens gadis yang terlihat tak berdaya itu.
“Tuan,
apakah dia tak apa? Mengapa tak kunjung sadar?” tanya sebuah suara.
“Dia
tak apa paman, alam bawah sadarnya yang tak menghendaki gadis itu untuk bangun.
Ia seperti tak memiliki gairah hidup. Gadis naif,” pungkas sosok itu.
Ketika
di puncak tebing sosok itu cukup kaget mengamati pertikaian dua orang
dihadapannya, tetapi ia tak gegabah. Ia menyaksikan dua orang itu terperosok
dan disusul suara debuman tanda sesuatu jatuh menghantam air di bawah sana. Sontak
ia pun turut serta melompat ke bawah, lalu di sinilah ia berada bersama dengan
gadis yang telah ia selamatkan.
Sosok
itu menyentuh lamat-lamat pergelangan tangan si gadis, mengamati dengan hikmat
sayatan memanjang yang berlapis-lapis. Seperti ukiran yang sengaja dibentuk.
Sosok itu berjengit ngeri membayangkan tatkala benda tajam menyayat tangan
gadis di sebelahnya ini. Ia terdiam, ingatannya kembali pada peristiwa itu,
memutar memori yang masih jelas terekam.
Flashback…
Dari
arah rumah terdengar teriakan melengking dari seorang wanita disertai dengan
bunyi benda tumpul yang menghantam sesuatu.
“Bodoh sekali! Tidak tau diuntung,
dasar anak tidak berguna. Coba lihat adik-adikmu, sama sekali tidak pernah
membuatku marah. Kalau saja kau taka da, aku kini sudah hidup nyaman di luar
negeri. Pembawa sial, mati saja kau bersama ayahmu!” hardik wanita itu.
“Ibu ampunn,” pinta gadis itu, tapi
tak digubris oleh wanita yang dipanggilnya ibu. Bahkan saat tubuhnya melemah,
sabetan sapu masih menghujani punggungnya.
Susah payah gadis itu bangkit sambil menahan sakit di tubuhnya. Bulir
bening terus meluncur dari durja cantiknya. Ia melangkah terseok-seok hingga
behenti di depan sebuah gundukan tanah, menatapnya dengan pilu.
Dari jauh sosok itu mengamati apa
yang dialami gadis itu. Tatapannya menajam dengan rahang mengeras, lalu
tanggannya mengepal erat.
“Dasar
manusia durjana tak berhati,” batinnya.
Lamunan
sosok pemuda itu terhenti ketika sebuah suara mengusiknya.
“Arrg…arrgghhh.”
Kesadaran gadis itu telah kembali. Ya gadis itu Athenna, ia beranggapan bahwa
ia telah mati, Bagaimana tidak, di tempatnya berada seperti sebuah akuarium
raksasa. Megah dan indah. Ia seakan hidup di dunia air, di sekelilingnya
berlalu lalang makhluk air yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Indah, satu
kata yang mewakilinya. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum tipis. Tak cukup sampai di
situ, ia terkejut bukan kepalang ketika melihat makhluk mitologi yang beberapa
waktu lalu menjadi bahan perbincakan di kelas, bahkan ia memainkan
permainannya. Putri Duyung. Apakah ia sedang berhalusinasi, batinnnya.
“Sudah
sadar, rupanya,” terdengar sebuah suara. Matanya terbelalak lebar, tak percaya
dengan dua sosok yang kini berada di sampingnya.
“Ba..bbaa…bagaimana
mungkin? Kaa..kau… ini tak nyata bukan? Putri Duyung hanyalah dongeng belaka,”
Athenna bertanya, lebih kepada dirinya.
Sebagai
jawaban, hanya senyuman geli yang terukir di bibir pemuda itu. Mencoba maklum
atas keterkejutan Athenna.
“Benar,
Athenna kami nyata. Kau tak bermimpi, bahkan sekarang kau pun tengah bernapas
di dalam air.” Jelas pemuda itu panjang lebar. Athenna pun menegang sesaat,
lalu membenarkan ucupan pemuda itu.
“Lalu
di mana Ambar berada?” tak ada jawaban dari pertanyaan Athenna.
“Kemarilah
Athenna, ikut aku. Ayo kita berkeliling. Tak apa,” tawar pemuda itu.
Athenna
pun mengikuti kemauan pemuda itu, sembari menerima uluran tangan yang terjulur ke
arahnya. Gadis itu dibawa berkeliling
mengitari dasar lautan. Ketakjubannya tak pernah surut, namun rasa penasaran
begitu mendominasi hatinya. Rupanya tak
hanya dunia manusia yang menyimpan jutaan kearifan, di sini pun sama bahkan
terkesan tak masuk akal. Ajaib. Tumbuhan unik terhampar di mana pun. Makhluk
laut menyapanya sembari melambai-lambaikan tangan. Beberapa spesies ikan pun
menghampirinya, sengaja mengajaknya bermain. Tak terasa, tawa terdengar dari
bibir mungil Athenna, tawa yang sebelumnya tak pernah ada.
Athenna dibawa menuju sebuah pemukiman unik. Para Duyung
tinggal di sana. Hunian mereka tak seperti manusia, mereka hidup dalam bangunan
seperti karang raksasa. Setiap ras duyung memiliki corak berbeda pada ekornya,
tak hanya tampilan fisik dari segi kebiasaan dan adat budaya pun berbeda.
Seperti sekarang, hunian para duyung memiliki bentuk yang berbeda, juga warna
yang khas. Senyum Athenna semakin merekah, tatkala beberapa duyung menyapanya.
“Dengar
Athenna, aku dan kaum ku diciptakan dalam wujud manusia dan setengah ikan. Kami
dimandatkan untuk menjaga lautan. Kami bisa berubah menjadi manusia seutuhnya
dan tak akan berubah menjadi duyung ketika mengenakan kalung mutiara ini. Eksistensi kami ada di dunia ini.” ujar Zheno.
Tepat sekali, pemuda itu adalah Zennobia.
“Kami
hidup seperti manusia, kami memerlukan kebutuhan dasar, kebutuhan biologis, dan
menjalin interaksi dengan satu sama lain. Bedanya kaum kami tidak serakah
karena selalu merasa cukup. Lihat Athenna lautan adalah rumah kami.” Lanjut,
Zheno.
“Keserakahan?
Apakah ini ada kaitannya dengan kisah putri Duyung dan Sang Raja, Zenno?”
sergah Athenna.
“Ya,
kedua penguasa itu dulu bersahabat dekat. Saling bahu membahu mensejahterahkan
kehidupan rakyatnya. Ratu Duyung menaruh kepercayaan penuh kepada Raja itu. Ia
tak segan menolong Raja. Namun, sebagaimana sifat manusia yang selalu ingkar,
Raja itu menghianati kami, demi memperoleh kekuasaan dan kekuatan.. Ia telah
dibutakan oleh keserakahan. Ia sengaja mencelakai dan mempermalukan sang Ratu
dihadapan seluruh makhluk salah satunya ialah Paman Baron. “ Zheno terdiam
sejenak dengan pandangan menerawang jauh.
“Tetapi
semesta tak pernah tinggal diam, semesta mampu mendengarkan. Seperti halnya
lautan yang mengadili ketidakbenaran, menyeimbangkan ketidakadilan, hingga sanggup
meluluh lantahkan kerajaan manusia dengan gelombang dahyatnya.” Ujar Zheno
dengan lirih.
“Sejak
saat itu kami menghindari manusia, kami tak lagi mempercayai mereka. Kami hanya
akan muncul ke permukaan ketika laut sedang pasang bersamaan dengan badai yang
menerjang, karena saat itu manusia tak berani mendekati ganasnya lautan.” Imbuh
Zheno dengan suara sarat akan kemarahan.
“Lalu
mengapa kau dan pak Baron pergi ke dunia kami, Zhenno?” tanya Athenna.
“Kau
tau sumur tua di belakang kampus? Itu adalah gerbang menuju dunia kami. Banyak
diantara kaum kalian yang punya niat jahat Athenna. Mereka menyalahgunakan
kekuatan yang mereka miliki. Oleh karenanya, sesekali aku harus pergi ke dunia
kalian untuk memastikan. Dan tak kusangka kau sering sekali menghabiskan waktu
di sana, membuatku curiga.” Jelas Zheno.
“
Ya, aku suka memberi makan ikan di dalam sumur tua itu. Kau belum jawab
pertanyaanku Zhenno, dimana Ambar dan kenapa kau selamatkan aku?”
Tak
ada penjelasan lagi yang dapat Athenna dengar dari Zhenno, karena tiba-tiba
semua menggelap, kesadarannya hilang entah kemana.
***
“Uhukkk…uhukkk…”
Athenna tersadar, ia ada di bibir pantai saat pertama kali membuka mata. Kala
itu langit telah menggelap. Sebuah botol berisi gulungan kertas ada dalam
kenggamannya. Ia membukan dan membacanya,
menyusuri tiap aksara yang ditulis oleh empunya.
“Athenna,
ketika kau sadar nanti, kau sudah kembali pada duniamu begitu pun aku. Ambar
telah menjadi milik lautan, itu merupakan buah dari apa yang telah ia tanam. Kau
terkejut bukan? Lalu, mengapa aku menyelamatkanmu? Karena kau berbeda, hatimu
bersih. Kau punya belas kasih. Lautan
hanya akan mengadili dan menenggelamkan manusia bodoh dan serakah. Sementara
tidak denganmu. Ingatanmu tentang dunia kami bergantung pada dirimu , kau akan
tetap mengingatnya ketika semua tetap menjadi rahasia. Namun, akan hilang dalam
sekejap ketika kau ingkari.
Athenna,
hidup memanglah tak mudah dan terkesan kejam. Aku tau, kau hidup dalam
penolakan, tak diinginkan dan merasa diasingkan. Ketahuilah kau berharga,
Athenna! Ingatlah, semesta mampu mendengar rintihan tangismu juga jeritan pilu
batinmu. Semesta menyaksikan apapun yang kau alami. Tunggulah hingga tiba
saatnya semesta bekerja untuk mengadili, jalani hidupmu dengan baik, syukuri
dan hargai setiap detik waktu yang kau lalui. Buktikan padaku, bahwa tak semua
manusia sanggup menistakan kepercayaan yang diberikan.
Berjanjilah.
Athenna. Kau berharga, hatimu bak gemerlam Mutiara
Zhenobia.”
***
“Dunia
memang seolah tak adil untuk siapapun, senantiasa berubah begitu pun hati
manusia. Kepercayaan direnggut oleh penghianatan, pengharapan ikut terhempas
entah kemana. Namun, semesta akan bekerja untuk mengadilinya.”
0 comments