Lebaran, Dulu dan Sekarang

Terhitung sudah sekitar 2 minggu semenjak hari raya, juga hari ke-11 di Bandung lagi setelah mudik lebaran. Selama jadi mahasiswa, baru dua kali merasakan mudik, dan yang kedua ini terasa sangat baru, dan yang paling sat set sepanjang sejarah. Rasa-rasanya kurang dari 2 minggu (hanya 8 hari aja lol ). Rutenya : Mudik ke Jawa Timur 5 hari, lanjut lagi menghabiskan 3 hari beharga di kampung, lalu kembali ke Bandung lagi. “Definisi mengukur panjang rel kreta, pp BDG-SBY”.Ini ceritanya masih jadi seorang mahasiswa, lalu nanti kira-kira akan seperti apa coba, kalau seandainya sudah ganti status menjadi pekerja? “malas sekali membayangkannya”

Selama bulan Ramadhan, kalau dihitung-hitung begini pembagiannya, 25 hari puasa di Bandung, 4 hari di Jawa Timur, ditambah 1 hari di kampung. Ternyata berpuasa di tanah rantau orang, dan harus sendirian di kos-kosan vibesnya berbeda sekali. Kaget pastinya, 2 tahun puasa di rumah tetiba harus membiasakan diri buat sahur dan iftar sendirian (sad). Lalu, kalau diingat lagi, dulu semasa masih  di asrama pun, waktu puasa juga ga begitu semenantang tahun ini. Entahlah, padahal konteksnya sama sedang berpuasa di tengah rantau. Tapi kok ya, vibes ngenesnya berbeda.

Fajar

***

Lalu apa? Akhirnya lebaran lagi "pikirku", setelah 2 tahun berlebaran dengan suasana yang berbeda, sepanjang 21 tahun usia (yah, udah besar ternyata) #lebarandirumahaja. 2 tahun yang ternyata merenggut banyak hal. Meskipun kalau bisa dibilang lebaran tahun ini sudah kembali normal, karena sudah diperbolehkan mudik. Lantas juga tidak menciptakan  kesan dan suasana yang berbeda. Malah justru terkesan jadi sad story. Memang kenapa? Rahasia. Ibaratnya semakin sekedar kumpul saudara, cuap-cuap sedikit, dan kembali lagi ke dunia masing-masing. Hanya sekedar formalitas. Tidak ada bedanya dengan pulang kampung dengan tujuan selain untuk berlebaran. Mungkin sebenernya, feel seperti ini sudah terasa bahkan sebelum pandemic terjadi. Sesederhana ketemuan, nuansa temu kangen sama sekali tidak ada. Ya sebenarnya wajar si, mau dibilang kumpul saudara juga yang kumpul bisa dihitung dengan jari. Apalagi kerabat dari kubu ayah, sepi. Padahal sempat berandai - andai, gimana serunya kalau-kalau semua berkumpul setelah sekian lamanya berjarak-jarak. Tapi realita tidak seindah pengandaiannya. Ternyata dulu dan sekarang memang berbeda. Satu hal bahwa, Momen tidak penah akan bisa terulang kembali sekalipun direka ulang sedemikian rupa. Lalu kalau ditanya kiranya apa yang menjadikan itu berbeda? Jawabanya mungkin karena sosoknya, suasananya, keadaan masing-masing, atau bahkan pemaknaannya itu lebaran sendiri.

***

#LebaranWaktuBocah

Waktu kecil,  kira-kira sampai sekitar tahun 2015 (kelas 2 SMP), lebaran adalah moment-moment paling dinanti. Puasa lalu mudik, sengaja menyisihkan hari untuk bertemu dengan saudara dan keluarga besar dar kedua kubu, ayah maupun ibu. Terkadang bisa memperpanjang waktu mudik. Walaupun tidak bisa dipungkiri, kadang waktu bertemu juga malah bertengkar 😉, tapi tetap we all happy. Mungkin karena aku dulu masih kecil, dan terlalu bodo amat apalagi untuk harus berupaya mengambil sikap. Tentu, tiak ferguso. Aku masih mau main, tidak mau tahu urusan orang gedhe.

Lanjut…

Jadi begitu, semua berkumpul. Yang dari Jawa Timur, Tangerang, Jakarta, dan Yogyakarta mobilisasi ke Jawa Tengah, titik kumpul pertama dan utama. Selalu seperti itu. Suasananya asik dan nuansa berlebarannya itu sangat terasa. Semua orang, dari yang tua, sepupu-sepupu, pakde budhe, om tante, buyutm kakek dan nenek. Fokus kami semua hanya satu, berkumpul dan bertemu. Berbagi cerita dan melakukan beragam hal, kadang juga sengaja diada-adakan. Baik aku dan sepupu-sepupu sekaligus cucu-cucu ini juga belum ada banyak kepentingan, menurutku satu yang paling penting adalah “main”. Tidak harus pusing memikirkan bagaimana masa depan nanti (ehh opss). Berasa tidak ada beban sama-sekali, berbeda sekali astaga dengan saat ini dan mungkin nanti. Atau itu mungkin, yang barang kali membuat lebaran dari tahun ke tahun vibesnya berbeda, pemikiran  sendiri dan bagaimana cara pandang terhadap lebaran.

Kami biasanya berkumpul di rumah pokok, bergantian dari rumah simpah pihak ibu atau kakek. Tapi paling rame Bascamp Banyuyoso, rame kalau lagi kumpul karena keluarga ayah 6 bersaudara beserta turunanya, ehey. Jadi timeline kedatangannya begini, kontingen Sidoarjo biasanya selalu datang lebih awal, jadi sudah pasti minimal sehari merasakan puasa di kampung. Datang awal pulang akhir, template yang sering dilabelkan. Next, keluarga Jakarta yang datang malam pertama Idul Fitri atau hari kedua lebaran. Ditambah lagi, budhe dan sepupu yang asalnya memang di Jawa Tengah.

Beda lagi ceritanya kalau dari keluarga ibu. Adek-adek ibu biasanya cenderung datang mepet, satu dari kontingen Tangeran dan satu lagi dari Yogyakarta. Lagi dan lagi, kontingen Sidoarjo selalu jadi yang paling awal dan akhir, mengapit.

Nah iya, ortu asalnya dari daerah yang sama, hanya berbeda kecamatan dengan jarak sekitar 10-12 km. Otomatis mobilisasi kami kelewat mudah, sat set sehari bisa 2 atau 3 kali untuk pp, bahkan lebih dari itu pun bisa. Kami seperti gasing, tidak bisa diam. Jadi kadang kala, waktunya justru dihabiskan di jalan.

***

#HariHLebaran dan #Makanan

Di hari-H setelah sholat Idul Fitri, spot di rumah yang paling pertama diserbu yakni meja makan, karena akan selalu penuh makanan. Budhe yang memasak, aku yang bantu sekaligus menghabiskan. Makan pun berjamaan, biasanya kalau tidak di pawon “dapur” dekat kolam ikan (err lupa motret) ya di ruang tamu. Sedangkan spot favoritku adalah ruang keluarga.

Ruang Tengah/Keluar

Di kursi merah panjang itu, spot "mau ngapain aja", dari gegoleran, makan, baca buku, bahkan bersantai sambil nonton acara TV spesial lebaran. Beberapa sepupu dan saudara biasanya juga turut serta. Dulunya di meja marmer bulat itu, ada satu set teko dan cangkir ala-ala yang selalu biasa digunakan oleh alm. kakung. Beliau biasa duduk di kursi nyaman coklat paling belakang, posisi kursi biasanya dimajukan sampai mepet sekali dengan TV. Nah, waktu masih jadi bocil, suka banget buat ikut-ikutan minum dari cangkir simbah.

Di zaman almarhum simbah masih ada, rumah tidak pernah sepi alias selalu penuh. Maklum, karena simbah itu termasuk yang dituakan. Tamu-tamu hampir tidak pernah putus untuk hilir mudik, even ketika masih pagi. Di otak bocahku, yang terpikir cuma “rame terus, cape liatnya, kapan selesainya. Pengen juga keliling.” That’s it, karena dulu bapak emak paling susah untuk diajak muter. Padahal kan cukup lumayan angpao yang bisa ku kantongi. Sayangnya tidak, mak bapak biasanya hanya sowan ke rumah saudara saja. Muter di sini maksudnya yaitu tradisi untuk mampir ke rumah-rumah saudara atau tetangga, yang muda bersilaturahmi ke rumah yang tua. Seperti itu urutannya. Di tempat kami dikenal dengan istilah “balalang”, mungkin yang familiar terdengar yaitu halal bihalal. Keramaian itu berlangsung di hari pertama dan kedua.

Ruang Tamu

Simbah biasa duduk di kursi panjang yang dekat dengan tembok. Di meja-meja itu selalu penuh dengan jajanan khas. Sedangkan kami anak dan cucu, menjadikan spot di depannya menjadi tempat bergoleran. Di sana biasanya diletak karpet atau kasur.
Ruang Tamu Sayap Kiri

Nah, di hari kedua, biasanya keluarga besar sudah berkumpul. Sejak malam, aku dan sepupu hobi sekali main petasan, dari yang level receh sampe yang guedhe banget. Di masa itu, petasan yang gedhe harganya udah ratusan ribu, kalau sekarang mungkin berkali-kali lipat. Sedangkan, Bapakku baru sanggup beli yang ukuran sedeng, mon maaf 😉, lagi pula aku juga ga berani untuk minta. Lebih ke sadar diri aja. Kalau bisa gratis dari kenapa engga, hehe. Kami dapet dari hasil barang sitaan pakde, jadi pakde itu profesinya polisi yang salah satu jobdescnya sita barang. Di antara semua jenis mercon, paling favorit yakni petasan cabe. I love the most pokok.

Kalau lagi kumpul bareng saudara, pasti engga jauh – jauh dengan aktivitas yang berhubungan dengan makan, ke pantai pun lebih banyak waktu yang dihabiskan hanya untuk makan. Aku pribadi suka sekali dengan es dawet hitam (lokasinya di sepanjang Jalan Deandels) dan bakso asli Sangubanyu. Lainnya ada degan yang bisa langsung dicomot dari pohon depan rumah. Selain itu, kalau kumpul-kumpul, yang ditunggu-tunggu adalah THR-an daru para tetua. Lucunya, momennya selalu barengan. Ekspresi ku berubah seketika, mata jadi hijau, ew.

Omong-omong tentang makanan. Kalau lebaran, meja di ruang tamu dan ruang tengah pasti tidak pernah absen dengan yang namanya toples makanan. Kalau dulu toples suguhannya, bisa dibilang kuno pakai banget. Berbeda dengan sekarang yang hampir setiap rumah punya tupperwere atau sebangsanya yang terlihat lebih modern. Apapun toplesnya, dulu atau sekarang diisinya pastis ama jajanan khas lebaran pastinya. Tetapi mungkin jenis jajanannya berbeda, kalau dulu cenderung lebih ke arah tradisional sedang sekarang jajanannya cenderung lebih unik dan modern. Jajanannya mungkin berubah, tapi aku sebagai penikmat taskbiatnya ya tetep sama, jadi tukang menghabis-habiskan. Ga hanya tamu, yang punya rumah juga turut berkontribusi untuk menghabiskan jajanan, wkwk. Meja makan juga selalu penuh dengan hidangan. Ada oporlah, rica-rica enthok, mie pedes, telor dadar pedes, ada juga kupat tahu, dsb. Semua makanan tergantung request, jadi kadang kala meskipun ga masuk ke menu khas lebaran, penting makan.

***

Rindu sekali dengan suasan itu, kejadian yang pernah ada di masa sekarang dan berganti masa menjadi dulu. Beruntung pernah di masa itu, dan yang jelas bersyukur karena punya kampung halaman. Kampung yang sekarang mungkin bisa jadi pelarian di kala penat.

Sedikit bernostalgia tentang makanan, karena kebetulan beberapa waktu lalu saat berkunjung ke rumah teman, sebelum lebaran tentunya. Hal yang kami bicarakan, ya seputar lebaran dan makanannya. Kami berceloteh panjang lebar, sembari memaksa ingatan yang sedikit memudar tentang lebaran di masa kecil. Agak lupa-lupa ingat sebetulnya. Tapi setidaknya masih ada makanan yang cukup melekat kuat diingatan, mungkin di masa sekarang hampir sudah jarang dijumpai. 

Emping

Astor

Si loreng yang selalu jadi rebutan bareng adek dan sepupu. The first snack yang menjadi sasaran ketika di rumah atau mendatangi rumah kerabat. Biasanya kalau dulu, astor punya toples yang khas yakni toples mika bening dengan tutup merah bergagang warna kuning. Jadi dari depan pintu sudah barang tentu mata tidak akan lepas mengamati (hehe). Pokoknya kalau sudah ada "dia" semua jajanan terabaikan. Prinsipku "masuk rumah langsung sikat". Satu hal lagi cerita seru dari si Astor, jadi kalau isi dalam toplesnya masih utuh. Untuk memudahkan orang mengambilnya, biasanya ada 1 atau 2 astor yang dibungkus dalam plastik yang ujungnya dibiarkan menjeler. Orang bisa dengan mudah mengambilnya tanpa membuatnya jadi remuk. Di sini kami selalu rebutan karena sangat satisfying bruh.

Permen Tape

Kue Semprong

Kue Clorot

Kue Satu

Kue Sagon

Kue Kancing

Siapa tim yang hanya suka ambil bagian manisnya aja, cung. Ambil-Potek-Balikin :)

Kue Wajik

Kue Semprit

Kue Kembang Goyang

Lemper Kethek/Tepo

Kerupuk Rambak

Jeli/Agar-Agar

Peyek Kacang

Lanting/Lanting Tutus

Rengginang

Kacang Telor

***

[15/05/2022]

Thank you, sudah menilik! Dan Happy Ied Mubarok Semuwa,Minal aidzin wal faidzin.

Stay healthy and happy!!!

 


You Might Also Like

2 comments

  1. Aaa, semakin bertambah usia semakin beda vibesnya, ya. Btw, ngiler liat foto makanannyaa🤤

    ReplyDelete