Hai...hai…apa kabar? Semoga baik, kalo engga pun ga apa. I have something for you …
Allahu akbar Allahu akbar, Laa ilaha illallahh
wallaahu akbar, Allaahu akbar walillahil hamd…
(Takbir berkumandang)
Sudah
setahun berlalu, semenjak hari raya Kurban yang terakhir kali yaitu tahun lalu.
Tahun lalu, aku merayakannya di Bandung, bareng-bareng dengan yang lainnya. Waktu
itu masih full team. Deep talk, sholat jama’ah di masjid salman, dan bakar-bakar
sate di asrama. Hmmm...
Agak berbeda dengan sekarang...
Saat ini posisiku di rumah. Berjauhan
dengan yang lainnya. So so lebarannya barengan sama orang rumah. Vibenya zuzur,
tidak seperti hari raya…berasa seperti hari-hari biasa… selumrahnya aja. Maybe
karena kami hanya bertiga karena adek posisinya di Lombok. Dan tidak mudik…alhasil,
kami sekeluarga berlebaran di tempat berbeda dengan zona waktu yang agak
berbeda. Ngomong-ngomong, kalo dipikir dari zaman ke zaman sepertinya memang
begitu ya… ada semacam tradisi tersirat. Kalo Idzul Fitri adalah momen dimana
keluarga pasti kumpul, semacam suatu keharusan. Identik deh dengan yang
namanya, mudik. Bahkan, dari sebelum hari-H sudah banyak persiapan yang
dilakukan dalam rangka menyambutnya… banyak banget gitu kayanya list acara yang
dirancang. Sementara, Idzul Adha agaknya biasa-biasa saja. Ga harus tuh, yang
namanya mudik-mudikan. Ya begitulah…Tapi heran ga sih?
Dan… kalo di sekitar rumahku sebagian orang
ada yang berlebaran di hari Rabu dan ada juga hari Kamisnya..Karena aku anaknya
ngikut mayoritas suara, jadi aku ikutan di Hari Kamis. Ga deng… ya memang
karena sejak kecil aku dibiasakan seperti itu. Di mana bumi dipijak di situ
langit dijinjing. Karena aku lahir dan gede di Indonesia, secara otomatis aku
hidup di bawah naungan negara ini. Mengikuti ketetapan dan ketentuan yang sudah
dibuat oleh pihak -pihak yang memang punya otoritas dan dipercaya. (Pencitraan
kan 😊).
Urusan benar dan salah belakangan, karena pihak-pihak yang ditunjuk tentu adalah
orang-orang yang tahu hukum dan paham dengan konsekuensi dari setiap keputusan
dan tindakan yang diperbuat.
Noted ya : sama sekali tidak ada persiapan
untuk berlebaran!
Ketika malam sebelum sholat, pun aku hanya
lontang-lantung di kamar. Kalaupun kirim-kirim ucapan, hanya sekenanya dan
seniatnya (astagfirullah maap..). Tapi ketahuilah, fitrah Idzul Adha tetap ga
memudar. Mungkin memang karena keadaan dan aku yang sudah semakin umur jadi ya
udah aja…
Paginya aku dan mak bapak, bangun lebih
karena rencananya kami sholat di masjid kompleks. Letaknya, di pintu gerbang depan
kompleks. Posisi rumahku ada di paling belakang. Kebayang kan ujung ketemy ujung.
Jadi,karena niatnya memang mau jalan kaki…kami harus spare waktu lebih supaya
ga telat (pengalaman, nyampe tempat sholat tau -tau dah khotbah). Selain
antisipasi telat juga menghindari malunya sih wkwk 😊.
***
Dari segi OOTD, dari bertiga aku adalah yang paling simple. Lebih terlihat ga niat kan? Atasan memakai sweeter (eca punya…), bawahannya training legend yang biasa ku bawa ke mana-mana. Juga pake kerudung hitam dan jangan lupa! Sendalnya juga item. Fix, lebih cocok untuk pergi takziah. Udah gitu nenteng-nenteng mukena yang digulung di dalam sajadah. Ckckck..
Padahal biasanya, makku bawa tas jinjing
kain dan aku biasa titip ke sana. Jadi tinggal badan doang. Cape juga ternyata
jalan kaki, mayan pegel. Sampai masjid, kerumunan jamaah belum terlalu ramai
dan tidak terlalu berdesak-desakan. Ga lama sholat Ied dan fokus mendengarkan
khotbah.
...
Abis sholat pulang deh…
Nah..nah… ada lagi kebiasaan yang cukup
mencolok bedanya ketika sholat di sini dan saat di kampung. Kalo di kampung
biasanya setelah sholat, jama’ahnya ga kesusu bubar, mereka akan keliling sambil
jalan untuk bersalaman. Sedangkan, waktu di masjid kemarin… sholat beres…semuanya
bubar..ngibrit dan sibuk masing-masing dengan barang bawaannya. Idk, karena
memang efek setelah pandemic atau udah begitu. Oops, aku juga baru sadar…
Pulang-pulang dan sampe rumah, langsung
berebah, ya ampun masih muda udah kaya jompo rasanya. Cape banget, jalan begitu
aja udah ngos-ngosan wkwk…efek terlalu lama berdiam diri di kamar.
Setelahnya ngapain? Tidak ada.
Di kompleks ku, prosesi sembelih hewan
kurban sudah dilakukan kemarinnya dan selesai di hari itu juga…sehingga di hari
berikutnya sudah tidak apa-apa… Gitu…
Along the day, kami hanya rebahan…gegoleran.
.
.
.
Semoga ini tidak kedaluarasahh!!! wkwkwk
***
12/07/2023
Hai...hai…apa kabar? Semoga baik, kalo engga pun ga apa. I have something for you …
Sekarang udah jam 18.06 WIB, hari Minggu… hari kedua aku
ditinggal sendirian di rumah. Yeayy… Berasa ngrantau lagi de ah. Ayah dan ibu selama
beberapa hari ke depan sedang akan berada di Jakarta buat menghadiri akad dan
resepsi pernikahan kakak sepupu tertuaku. Jadi sebetulnya bukan purely
bepergian yang sengaja untukjalan-jalan si. Cuma memang sudah diagendakan dari beberapa
bulan yang lalu. Gitu…Dan aku decided untuk memilih stay at home. Ayah
dan ibu berangkat jum’at siang kemaren, kebetulan dapet tiket yang langsung
bisa naik dari stasiun Sidoarjo, jadi ga perlu ribet untuk pergi ke stasiun
gubeng dulu. Aku juga bisa nganterin.
***
Kerena sendirian jadi bingung mau ngapain… kemarin dan hari
ini ga terlalu banyak yang dilakukan juga. Sejauh ini belum merasa bosan, jadi
betah-betah aja di rumah. Beginilah nasib anak gadis jomblo dan masih setia
jadi job seeker, penggaweannya hanya rebahan dan ngedep laptop seharian.
Kemarin, aku sempat keluar rumah. Habis dzuhur visit rumah Ajim.
Dan…karena di hari Jum’at sore (pas banget setelah aku baru balik dari
stasiun), doi menanyakan kunjunganku ke rumahnya jadi atau tidak. Aku bilang
iya. Namun, setelahnya masih ada tanggapan lain darinya yang malah berujung
pada penawaran. Kondangan! Aku diminta untuk menemaninya kondangan di salah
satu kerabat (Budhe)nya. Kakak sepupunya menikah. Kediaman saudaranya itu tidak
jauh dari rumah Ajim. Lantas aku mau-mau saja. Karena aku ga mau riweh, jadi
kami tidak terlalu memusingkan persiapan aneh-aneh untuk sekedar kondangan.
Pikirku, mengenakan busana dan sopan sudah cukup.
Oke, berikutnya ku putuskan untuk mengubah jadwalku ke rumah
Ajim. Awalnya aku ingin datang agak pagi, supaya pulangnya tidak terlalu sore. Berhubung
ada perubahan rencana dan acara di kediaman kerabatnya di sore hari, maka aku
baru otw sehabis dzuhur.
Pagi yang luang menjadi kesempatan buat beberes rumah dan
tidur hihi. Baju yang ku kenakan simple dengan warna khas yang melekat padaku,
hitam-hitam. Celana bahan dengan kaos hitam, untuk outernya memakai cardigan
agak kecoklatan. Menyesuaikan warna busana ajim. Aksesorisnya, hanya mengenakan
kalung ala-ala dan cincin. Iseng-iseng aku poles kuku memakai cat warna coklat.
Dari rumah aku belum menggunakan outer, hanya jaket saja. Outer dan
printilan lainnya ku masukkan di dalam paper bag mini. Sampai di sana, masih
sempatnya aku goler-goler dan berbincang santai.
Baru deh ketika menjelang sore, kami bersiap. Aku mengeluarkan senjata dan perlengkapkanku… sedikit memoles wajah dengan riasan tipis. First time, memberanikan show off hasil belajar dandan, meskipun ga bisa dibilang berprogress juga si wkwkwk. But it’s okay.
Dan berangkatlah kami, ke tempat kerabat yang memiliki hajat. Aku merasa asing di sana, sebab satu-satunya yang ku kenal truly deeply hanya Ajim. Fyi, ini kondanganku yang pertama kali tanpa berbarengan dengan orang tua. Super kikuk. Apalagi ootd ku lebih cocok buat acara formal (ya tau kan, kumaha biasanya saya). Tapi ga lama, aku menguasai keadaan…asek…Lebih ke arah bodo amat juga…setiap ditanya ya dijawab sambil disenyumin ajah…
Makan…balik
pulang… aku sekalian pamitan untuk pulang ke rumah supaya tidak terlalu sore.
Then…seharian ini lebih banyak otak-atik laptop untuk
menyelesaikan suatu tugas. Lebih tepatnya nyicil. Asik dari pagi sampai ga terasa,
tiba-tiba sudah jam 4 sore. Sangat ansos bukan 😊. Karena mata dah terasa pegel, lebih baik
aku doing something yang lain.
Bersih-bersih. Bikin sambel bajak dan goreng lele yang udah
disiapin sama ibu. Sayangnya, ditanganku lelenya jadi buruk rupa. Wajan yang
kupakai untuk menggoreng entah kenapa lengket, bisa dibayangkan kan apa yang terjadi?
Itu lele kulitnya nempel semua ke pinggiran wajan…lelenya nemplok di sana
beserta kulit-kulitnya…waktu diangkat alhasil lelenya telanjang dan tidak mulus
hehehe...Ga apa, setidaknya bisa dimakan.
Habis makan, lanjut mandi dan sesudahnya prepare untuk
magrib. Sajadah udah dibeber dan mukena sudah dipakai, tinggal sholat aja. Eh,
tetiba gelap. Oh man, no… mati lampu dong. Semakin menjadi-jadi karena
di luar hujan deres sekali. Makin mencekamlah suasana. Aku panik! Beruntungnya
hp ga jauh dari jangkauan, jadi bisa buru-buru nyalain senter. Sambil riweh
sendiri, aku cari lilin. Bersyukur sekali, nemu satu. Nyala deh… paling tidak
ada secercah cahaya penerang… Senter hp dan lilin ku taruh di posisi strategis.
Dan… setelah susah payah memposisikan keduanya, TIING!!! Lampunya nyala lagi ☹. Bapak-bapak PLN-nya suka bercanda deh… hmmm…
Cuma, waktu hujan tadi sejenak mengingatkanku dengan aku dan
Bandung, ketika aku masih stay di sana. Mulai melownya…
Jujur Bandung memang sengangenin itu. Semoga segera bisa ke
sana lagi..Aamiin.
.
.
.
Ngomong-ngomong, aku masih memikirkan rencana buat besok…
***
02/07/2023
Dalam sepi yang nyatanya jelas-jelas tengah di kelilingi…
- June 22, 2023
- By Travelianew
- 0 Comments
Sebagian orang mungkin terheran-heran. Coba bayangkan saja, bagaimana bisa dikatakan sepi jika, kamu berada dalam kerumunan orang, tidak hanya satu namun belasan orang? Satu perasaan yang kerap kali membuat bias. Suara percakapan lantang yang seharusnya mampu mengisi ruang sunyi di dalam diri justru terdengar menjauh dan sama saja, meciptakan lengkingan dengan frekuensi nyaring berdenging penyebab rasa pusing.
Aku penasaran, apakah di antara banyaknya orang yang tertawa girang di sisi sana, benar-benar sedang tertawa atau sebaliknya, mereka hanya berpura-pura untuk sejenak menyisihkan air mata lara yang sebenarnya siap untuk tumpah ruah kapan saja. Jika mereka merupakan bagian yang kedua, berarti memang aku bukan satu-satunya tokoh utama.
Pernah suatu ketika, aku terperangkap di moment tersebut. Mungkin kamu juga? Rutinitas yang monoton dan terus berulang-ulang menyebabkan penat dan perasaan sepi, rasanya kosong. Berpikir bahwa, keluar dari gubug dan bersua dengan yang lainnya bisa menjadi penawarnya. Namun, ternyata salah kaprah. Teori saja tidak melulu berbanding lurus dengan realitanya. Rasa sepi justru semakin kuat memeluk, menciptakan sensasi tercekik.
Moment seperti itu tidak hanya terjadi satu atau dua kali, namun sering kali terjadi. Ketika jelas-jelas hiruk pikuk keramaian mengelilingi sekitar. Bahkan dalam obrolan yang kerap kali diselingi dengan humor receh, tetap saja tidak bisa mengalihkan kekosongan yang sedang dirasakan. Tidak ada celah sama sekali untuk melebur bersama keramaian itu. Bukan tidak ingin, tetapi memang benar-benar tidak bisa. Semakin dipaksa, justru semakin nelangsa.
Jika kamu pernah, rasanya mirip seperti ketika
mencelupkan tubuh dari ujung kaki hingga kepala. Terdengar berisik di dalam
sana, gaduh yang disebabkan oleh gelombang-gelombang air. Mengerikan! Pada
keadaan seperti itu, ingin rasanya cepat-cepat kabur. Aku jadi heran, kepada
mereka yang bisa tetap bersikap girang, seolah - olah meraka mendapatkan peran
untuk menghibur orang-orang kesepian atau yang dianggap menyedihkan. Apa tidak
lelah?
Baru-baru ini aku baru “tau”, bahwa menyendiri untuk sejenak menyisih dengan diri sendiri adalah obat termujarap untuk mengusir rasa sepi. Menyendiri memberi ruang untuk kembali menjadi diri sendiri, tidak harus berlagak dan bertingkah seolah semua biasa-biasa saja. Tanpa perlu menebar tawa haha hihi, singkatnya topeng yang mungkin saja sengaja dipasang sebagai salah satu atribut wajib dalam pertunjukan hidup ini, bisa dilepaskan barang sekejap.
Kamu bebas merasakan dan
menumpahkan segala bentuk emosi yang berkecamuk. Karena tidak seharusnya lari,
tetapi kamu perlu memvalidasi dan mengurai setiap rasa yang disebabkan karena
sebuah peristiwa. Anggap saja, kamu sedang memantulkan pikiran dan emosi mu
pada dirimu sendiri, layaknya sedang bercakap. Berkontemplasi dengan diri
sendiri, merenungi dan mengudar apapun yang sedang dirasakan dan dipikirkan.
Tahu tidak? Bahwa lebih baik
sedikit demi sedikit dirasakan kemudian diluapkan, daripada ditumpuk hingga
menggunung dan akhirnya meledak. Sama seperti bom waktu. Dengan menyendiri kamu
seolah bisa menemukan jati diri sendiri, menyingkap sisi lain diri yang belum
diketahui. Bisa disebabkan karena tidak sadar lantas jadi tak mengerti, bisa
saja menjadi bias karena terlalu tumpeng tindih dengan pemikiran dan pribadi
orang lain. Macam-macam faktornya, yang terkadang saling bergesekan dan
menjauhkan kamu dari versi asli dirimu. Hmmm.
Dan ternyata, sendiri bukan
berarti lantas terlihat menyedihkan, kamu dapat menjumpai ketenangan di dalam
sana jika berhasil mencarinya dengan cara yang benar. Lalu, riuh heboh yang
diumbar-umbar belum tentu dapat mengusir sepi. Jadi akan sangat salah, jika
mengharapkan orang lain bisa mengisi sunyi yang saat itu mungkin sedang
hinggap. Resapi saja. Barang kali kamu harus merasakan dulu bagaimana merasa
sepi, sebelum menikmati apa itu yang namanya ramai.
***
23/06/2023
5 Stage of Acceptance in any Condition - Human (Part 1)
- May 05, 2023
- By Travelianew
- 0 Comments
Are you human?
Can you feel something or not?
Aren’t you sad or mad on worst
situation?
Biar aku bantu jawab.
PASTI PERNAH!
Sebagai seorang manusia yang
memang dikaruniai perasaan tidak cuma akal, tentu pernah mengalami fase-fase
terpuruk. Sedih? Terpuruk? Mati rasa? Hancur? Depresi? Demot? Kecewa? Kedukaan?
dan another next level negative emotion. Manusia tak dapat menampik itu.
Tapi seperti itu hidup. Kalau
tidak pernah merasakan sedih, mana pernah merasakan senang atau bahagia. Up
and down dalam hidup akan selalu ada, bahkan seiring beranjak dewasa pun
intensitasnya akan berbeda – beda. Tidak sama untuk satu dengan yang lainnya.
Penting sekali untuk untuk
memaknai setiap kejadian di dalam hidup, walapun itu pahit. Tidak cukup sampai
di situ saja. Perlu juga mengenali pola-pola kejadian demi kejadian yang pernah
terjadi. Bagaimana cara menerima dan meresapinya? Bagaimana cara memberikan
respon pada peristiwa tersebut? Bagaimana cara berdamai dengan persoalan?
Pola-pola seperti itu hanya bisa
dikenali oleh diri sendiri. Sulit tapi tidak ada salahnya apabila dicoba. Bisa
jadi di masa mendatang akan menghadapi persoalan serupa. Bedanya, aku atau pun
kamu sudah lebih siap sehingga bisa mengambil keputusan untuk take suitable
action dengan risiko yang minimum, supaya tidak perlu buang-buang energi
untuk tenggalam dalam persoalan dan overthinking ga jelas.
…
***
Manusia dan Perasaannya
Baik aku dan kamu sangat siap
untuk mendengar kabar baik, tidak peduli bagaimana situasi dan kondisinya.
Sebaliknya? Tidak akan benar-benar bersedia untuk menerima kabar tidak
mengenakkan, sekalipun sudah mempersiapkannya sebaik mungkin. Sementara,
seringkali berita-berita tidak mengenakkanlah yang acap kali terjadi secara
mendadak tanpa disertai pertanda.
Pagi yang indah di awal hari,
bisa seketika terasa menjadi teramat buruk ketika mendadak di tengah perjalanan
menuju kantor dikejutkan dengan peristiwa tabrakan antar ibu-ibu random yang
tidak patuh lalu lintas, atau di tengah jalan tiba-tiba diberi kabar bahwa anak
sakit. Lalu, bisa jadi mendapatkan telepon mendadak dari atasan di kantor,
perkara pekerjaan yang tidak beres.
Atau contoh lainnya, seperti
bencana yang beberapa waktu lalu menimpa penduduk Turki yang masih jelas
terngiah diingatan. Siapa sangka malam di mana orang tengah sibuk bergelung di
balik selimut, sekejap menjadi malam paling mengerikan sepanjang sejarah. Gempa
Bumi yang datang secara tiba-tiba, tanpa ada peringatan sebelumnya. Momen
tersebut akan menjadi duka dan trauma berkepanjangan bagi penduduk Turki.
Bagaimana mereka memberikan
respon atas peristiwa-peristiwa tersebut?
Beberapa di antaranya merasa
terkejut, mati rasa, khawatir berkepanjangan, merasa bersalah, berandai-andai
dan menganggap bahwa harusnya peristiwa itu tidak terjadi, rasa sedih, menangis
histeris, merasa hampa dan sendirian, dan lain sebagiannya.
Lantas, berapa lamakah mereka
bisa berdamai dengan keadaan? berdamai dengan diri mereka sendiri?
Jawabannya, tidak pasti! Ada
yang butuh waktu sehari, seminggu, bahkan bertahun tahun. Sebab proses
penerimaan diri (grieving process) setiap manusia itu berbeda.
Mungkin beberapa di antara kamu
merasa penasaran dengan alasan dibaliknya.
...
Faktor yang Mempengaruhi Grieving
Process
Proses penerimaan tiap orang akan
berbeda, pun dengan cara mereka memberikan respon terkait berita tidak baik
yang diterima. Jadi, baik aku atau kamu tidak punya kewenangan untuk menilai,
mencemooh atau memaksakan emosi yang menjadi bagian dari seseorang di sekitar.
Termasuk orang terdekat sekalipun, tetap tidak berhak.
Mereka butuh waktu.
Terkadang ada kondisi di mana atau
kamu mempunyai sikap dan sudut pandang yang berbeda terkait dengan proses
penerimaan diri.
Perbedaan tersebut didasarkan oleh faktor tertentu, di antaranya :
- Faktor personal (internal) berkaitan dengan level resilien, kemampuan menajemen dan kontrol emosi, seberapa besar arti sebuah kehilangan, dan orang-orang dekat yang mengiringi proses bertumbuh.
- Faktor budaya dan adat istiadat berkaitan dengan aturan dan norma yang berlaku di lingkungan tempat dibesarkan. Budaya yang berbeda tentu punya aturan dan tradisi yang berbeda. Contoh bagi kita orang berbudaya Timur ketika mendengar “hamil sebelum menikah” merupakan persoalan tabu. Sementara, bagi orang Barat sana menganggap hal tersebut sebagai suatu hal yang lumrah dan bukan menjadi masalah besar.
- Faktor situasional menyangkut waktu dan situasi kejadian. Contohnya insiden kecelakan yang membuat seseorang merasakan kehilangan secara mendadak. Atau kejadian tragis yang sebenarnya sudah berusaha diminamilisir dampaknya, seperti banjir yang menenggelamkan seluruh kota.
- Faktor traumatis berkaitan dengan pengalaman di masa lalu yang menyakitkan dan teramat berbekas, sehingga berpengaruh terhadap kontrol diri. Contohnya kehilangan orang yang dicintai, hak, kontrol diri, social support, dll.
***
(16/02/2023)
Enjoy the day, guys. Stay Happy and Healthy!
#Human#Berdamaidengandiri#GrievingProcess#5Stage of Acceptance
Ailo bestie...
Waktu menjukkan pukul 08.53 WIB bertempat di Kota Bandung, C'elah padahal main locationnya di situ -situ ae. Cisitu Lama gang V. Until now, the sun still shy to came up and show the shine. Jam 6 pagi, rasa jam 5 sore menjelang magrib. Satu minggu ini, begitulah rutinitas pagi yang selalu terjadi. Panas sebentar lalu hujan sampai sore bahkan hingga malam. Atau bisa jadi seperti ini, dari pagi langit sudah tertutup kabut tebal. We will meet the rain, it might be in afternoon, evening, or in the night.
Today, I woke up earliest pake banget, jam 6 kurang beberapa detik. Wajar juga, I've been slept almost 12 hours. Maybe it was my way to enjoy the uncertainty life. Abisnya hawanya super dingin, ditambah hujan yang seperti musik pengantar tidur. Dinginnnnn.
Hari ini tidak ada agenda khusus yang direncakan, hanya mau menghabiskan waktu di kamar kosan. Jadi pagi-pagi banget sudah prepare untuk cooking-cooking ala kadar. The main reason, bcs I am very lazy to go to outside there just to find some meals. Lagi pula, di kulkas masih ada beberapa stok bahan makanan, sayang jika dibiarkan menganggur. Simple, tumis kangkung dan dadar telor bayam (hmmm, bingung gak tuh. I wonder, the teste whether good enough or not. But not bad. At least, I can swallow it :").
yummy (lebay)
Well, belakangan ini sepertinya banyak sekali terdengar kabar yang kurang baik dari teman -teman dekat. Sorry for heard that! Di satu sisi, cukup beruntung karena diberikan kesempatan untuk ikut mendengarkan dan merasakan apa yang mereka alami. Namun, di sisi lain juga ikut sedih, sebab peristiwa demi peristiwa itu mampir dan menimpa teman-teman dekat. I could say, those of people are anywhone who I put in the first circle of our relationship. It doesn't mean I dont have any problems. Exactly I have. But, maybe it not heavy as and as complicated as they are. Beberapa diantaranya cukup mendadak dan tiba-tiba, terjadi tanpa pertanda.
Collision accident alias nyungsep di Setiabudi, dengan sepuluh jahitan (err ngilu)..//
Tiba-tiba dapet kabar, bahwa salah satu dari kalau harus melakukan operasi di sekitar rongga perut, meskipun masih bisa menjalani perawatan intensif...//
Lalu, covid-lah padahal kasusnya sudah lama mereda...//
Belum lagi, insiden ketiban plafon kamar termasuk genteng rumah...//
Terakhir, berita kecurian laptop di kamar sendiri (iseng benget yang ambil)...//
And me too ternyata, unknowingly I lost for something...//
Hadeh, to much...
Rupanya tragedi dan musibah memang benar adanya, bisa terjadi di manapun, pada siapapun, dan kapan pun. Even your home, the safest place I thought. Jadi maknanya harus selalu siaga dan berhati-hati di mana saja (mawas diri).
Satu lagi bahwa, selalu ada kemudahan dalam setiap kesulitan. Selalu ada hikmah yang mampu dimaknai dalam setiap peristiwa. Akan ada pelangi setelah hujan, bahkan di kala hujan pun rintiknya masih memberikan ketenangan. Buktinya, kabar-kabar yang kurang sedap silih berganti digantikan dengan kabar bahagia yang juga ikut membuat haru. Tuhan, memang tidak akan tinggal diam. Selalu ada jalan yang diberikan, apapun bentuknya. Bahkan di tengah-tengah keputusasaan, di mana mengira hampir tidak ada celah penyelesaian persoalan. Yang hilang akan selalu tergantikan, meskipun harus melalui proses yang menyakitkan.
Namun, siapalah kami yang hanya manusia ini. Sudah tahu, tapi tetap saja. Terkadang ikut terjebak di dalam kemelut.
Memang kami semua, sedang diminta untuk bersabar dan belajar untuk lebih jeli. Tidak hanya itu, tetapi secara tidak langsung dituntun untuk lebih peka dan peduli dengan segala sesuatu yang sedang terjadi di sekitaran kita. Setidaknya, sejenak untuk mencoba mendengar kemudian ikut memahami. Tidak melulu sibuk dengan persoalan diri. Di luar sana ada alam, binatang, atau bahkan sesama manusiaaa yang mungkin saja ingin diperhatikan.
Dan, sebuah kata-kata yang dituliskan oleh seorang yang berulang kali babak belur dihantam keadaan. Dan mungkin dia tidak sadar, bahwa dirinya telah sangat jauh bertumbuh.
Dulu
ketika masih SD, saat kelas IPA ada sebuah teori tentang hukum kekekalan
energi, bahwa energi tidak bisa dihilangkan atau dimusnahkan, tetapi hanya
dapat dikonversi ke dalam wujud lain sesuai dengan manifestasinya. It’s
about the balances. That is what happen to our
life.
Lalu,
jika ditanya bagaimana proses perubahannya dan wujud nyatanya secara visual?
Aku tidak sepenuhnya yakin meskipun sudah banyak teori yang menggambarkannya
secara gamblang melalui beragam visualisasi, baik yang sifatnya konvensional
maupun digital.
“Kesetimbangan”,
kata itu menggambarkan sebuah kesetaraan yang tidak mesti sama dari segi wujud,
proporsi, dan kuantifikasinya.
Semesta
pun begitu, selalu seimbang dan menyeimbangkan. Ada siang pun ada malam. Ada langit pun ada
bumi. Ada daratan pun ada lautan. Ada canda pun ada tawa.
Ketika
ada yang bersuka cita atas sebuah kelahiran, bisa jadi di belahan bumi lainnya
ada sebuah duka atas sebuah kepergian. Kelahiran
ialah wujud dari kedatangan, sementara kematian yang tidak lain ialah wujud
dari kepergian. Kelahiran dan kematiaan terkadang selalu beriringan dengan
derai tangis air mata. Keduanya hanya dipisahkan batasan tipis. Bayangkan, ini seperti
batas antara siang dan malam yang berlangsung hanya sepersekian detik. Singkat.
Aku,
kamu, dan manusia di luar sana, tidak akan pernah tau bagaimana takdir akan
membawa jalan hidup ini. Apakah besok aku masih ada, dan memfungsikan paru-paru
dengan semestinya? Pun dengan mu? Atau bahkan di detik berikunya raga ini sudah terbujur kaku
seperti balok kayu yang tumbang melintang. Jika sudah begitu, lantas bagaimana nasib
rencana yang sudah dicari, direncanakan, dan disketsakan dengan apik nan rapi hanya
ditinggal begitu saja? Sirna tanpa jejak.
Lantas
bagaimana? jika, waktu yang digunakan untuk sekedar membuat sketsa nasib, ah ya bahkan belum sampai tahap itu. Baru saja dititik pencarian “tujuan”, sudah
lusinan waktu disia-siakan sementara yang ada di depan mata diabaikan sebab
dirasa kurang ideal. Sayangnya waktu yang diberikan punya
limitasi tertentu yang dirahasiakan, jika sudah tiba masanya mungkin hanya bisa
ber”oh ria”. Konon katanya, habisnya waktu datang secara tiba-tiba, mengagetkan
dan menakjubkan. Then, what next?
***
Menginjak
usia kepala dua, aku cukup terkejut mana kala dihadapkan dengan begitu banyak
kabar duka yang bergaung dari mana saja. Dari dulu hingga menginjak SMA
setidaknya duka di depan mata hanya ketika orang tua ayah (simbah) dan sesepuh pada
generasi sebelumnya meninggal dunia. Saat itu, rasa kehilangan yang justru
mendominasi, sebatas itu. Tidak tahu, mungkin memang sepatutnya begitu.
Sesuai dengan logika yang ada, bawhwa yang datang terlebih dulu, sewajarnya
akan pergi terlebih dahulu. Berjalannya waktu, fakta yang terjadi tidak sesederhana itu.
Lalu…
Seolah
tidak ada aba-aba, segalanya terjadi begitu cepat dalam kelebat singkat. Kabar duka bergema
dimana-mana, seruan ketakutan yang tidak urung berhenti jua. Kepergiaan dan
kematian serasa seperti kutukan masal dalam dua tahun kebelakang (2020-2021). I
called those of years by “Musim Panen Kematian”. Setiap hari, tanpa sadar dalam
benak menerka, siapa selanjutnya? Pasalnya hampir setiap hari duka yang digaungkan
terdengar dari mana saja, dari lingkup masal yang sama sekali tidak aku ketahui
siapa saja orangnya – caused by Covid. It’s the dark period.
Tidak berhenti begitu saja, rupanya yang dikira usai ternyata baru saja dimulai "untuk diri sendiri", dan yang disangka sudah cukup ternyata bukan apa-apa. Mungkin Allah sengaja membuat jeda sejenak, yang tentu menjadi bagian dari rangkaian takdir yang ̶ Ia buat.
Waktu yang sempit di mana seharusnya menjadi ruang perenungan untuk mengavaluasi
diri dan mempersiapkan diri menjadi versi yang lebih baik lagi. Waktu yang
seharusnya cukup untuk memberikan sejenak saja kesempatan beristirahat atas
ritme yang serba cepat, bersamaan dengan tarikan nafas yang masih
tersengal-sengal. Waktu untuk sejenak terlepas dari rasa was-was dan takut yang
menikam. Dan ketika dirasa cukup, Ia akan datang kembali untuk melihat, apakah
kita sudah siap? apakah aku sudah sadar betul bahwa waktu yang ku punya
terbatas? Apakah aku sudah cukup mengerti dengan apa itu kematian?
Saat
itu pun tiba, ketika aku atau bahkan sejengkal manusia di luar sana merasa lengah.
Duka seperti sengaja digiring mendekat kemudian perlahan menyempit dan menghimpit. Datang
bertubi-tubi di sekelilingku, tidak persis dekat namun aku rasa sudah cukup
untuk merasa terjerat dan tercekat. Duka itu terdengar untuk pertama kalinya dari lingkup perteman,
kerabat dekat, dan orang-orang yang dekat.
Lalu
apa? urutan selanjutnya masih akan menjadi misteri, yang jawabannya baru nanti. Satu hal yang juga dituliskan oleh biografi Habibie dalam - Rudy "Kisah Masa Muda Sang Visioner".
***
The Death, menjadi
lucu, menarik, dan mencekam dalam waktu bersamaan. Menjadi lucu karena semua orang tahu
bahwa itu nyata tetapi tidak ada yang tahu bagaimana bentuk dan manifestasinya.
Membuat siapapun berlomba lomba untuk menunggu dijemputnya, namun terkadang
hingga lupa diri dan bosan sendiri. Lalu, menjadi menarik bak bermain teka-teki
rahasia, siapapun bisa mencoba menerka tapi tak benar-benar mendapat jawaban
pastinya. Dan, mencekam karena sifatnya yang terlalu rahasia, tak dapat
dihindari dan datang tanpa aba-aba, tetiba datang begitu saja tanpa permisi dan
berbasa-basi.
Saking
tidak pastinya, kematian bak sebuah misteri. Sungguh Na’as jika ia datang pada saat
manusia tidak cukup waspada. Dan alangkah beruntungnya ketika ia datang pada mereka
yang senantiasa bersiap siaga.
***
Seperti
halnya manusia kebanyakan, aku sudah dikenalkan dengan apa itu “kematian” sejak
dini, bahkan jauh sebelum mengenal apa itu arti dan makna hidup. Kematian adalah salah
satu kepastian takdir, selain jodoh dan rezeky yang dijanjikan oleh Tuhan dan
semesta-Nya. Bahwa setiap yang bernyawa akan meninggal pada akhirnya. Sekedar
itu. Mungkin sesekali bertanya, kapan datangnya… Lantas terlupa, digilas oleh
keinginan untuk memikirkan dan menggapai dua garis takdir lainnya.
Setelah
semua peristiwa, kematian tidak lagi menjadi sekedar peringatan yang dituliskan
dan dituturkan. Ia dekat, terlampau lekat dan menjadi teman yang mengiri dalam keseharian.
Ia sudah pasti ada, tapi serba tak pasti kapan tiba waktunya. Menurutku,
kematian itu seperti permainan gelembung sabun yang ditiupkan sembarang arah,
di tengah-tengah banyaknya kerumunan, gelembung berterbangan di atas kepala siapapun
dan jika sudah waktunya maka akan meletus kapan saja “Blub”. Dan waktu habis. Layaknya anak-anak yang tadinya berjingkrak-jingkrak kegirangan, seketika diam terbata dengan tatapan nanar. Dunia berhenti dalam sekejak - "Hanya dunia mu".
Sekarang, rasa was-was dan pertanyaan demi pertanyaan pada akhirnya bermunculan. Menebarkan ketakutan. Takut, mengapa dan akan hal apa hmm? Tanya yang terus berputar dalam benak.
Teringat, Ayah dulu pernah
bilang, jika merasa takut artinya aku belum siap, belum mempersiapkan bekal dengan tepat. Layaknya mengerjakan soal ujian MTK. Di sinilah aku dan beberapa
di antara kamu yang berada di titik ini, rasa takut itu tercipta dari harapan
besar namun, dipenuhi kekhawatir sebab perbekalan dan amunisi yang seadanya juga minim.
Bagaimana
takdir akan membawa kita semua? Apakah jika kematian tidak sengaja mampir dan
membawa seluruh yang tersisa, aku dan kamu di luar sana sudah berada dalam
keadaan terbaik, yang mana bahkan tidak hanya di mata semesta dan seisinya,
namun baik juga dihadapan Tuhan? Doa dan harapan yang selalu dipanjatkan serta
disemogakan. Aamiin.
***
Aku
atau kamu di luar sana akan terus dibentrokkan dengan misteri hidup yang seperti
benang kusut. Berpikir, merenung, menunggu, dan terus mencari hingga entah kapan
masa itu akan tiba dan justru waktu yang dipunyai habis tak bersisa. Semua yang
direncana pada akhirnya terkubur begitu saja. Bolehkan dikatakan bahwa waktu akan
membunuhmu. Mungkin tidak benar, tapi aku setuju.
Pilihan
terbaik yang mungkin bisa dilakukan yakni berusaha menghargai apapun yang
dimiliki dan diberikan saat ini. Akhir-akhir ini jadi cenderung bersikap
seperti itu. Mengupayakan apa yang bisa diupayakan, berikhtiar dengan sebaik
baiknya. Lalu menunggu ke mana selanjutnya takdir akan membawa pergi.
Hiduplah
di masa sekarang. Maafkan saja dulu, masa lalu yang sekiranya terlampau
menyakitkan, kemudian terima. Hempaskan belenggu yang menjadi jerat supaya
tidak tertatih-tatih dalam menapaki langkah di masa mendatang. Nyatanya tidak
adil jika membiarkan diri sendiri terjebak di sana dan menyalahkan keadaan,
apapun itu. Terkadang tidak semuanya sejalan dan dapat dikendalikan karena adanya sebuah keterbatasan dan ketidaksempurnaan. Aku dan kamu tidak ingin dituntut terlalu keras bukan? begitu
pun dengan semesta dan yang lainnya.
Hiduplah
di masa sekarang, tanpa perlu risau akan masa depan dengan serangkaian prasangka-prasangka
kurang ajar, yang acapkali menciptakan bermacam-macam
scenario yang tidak berdasar dan justru diyakini. Otak yang luar biasa
terlampau kreatif, mungkin akan lebih baik jika dijadikan ide sebuah cerita
fiksi. Cukupkan berandai - andai! Syukuri dan nikmati apa yang sudah
dihidangkan.
Waktu
yang sekarang tidak mungkin bisa diulang, tidak akan pernah menjadi masa depan,
namun bisa menjadi momen paling menakjubkan untuk disematkan menjadi bagian
dari lusinan memory masa lampau yang dapat dikenang dan diceritakan di masa yang akan datang.
Buat sebanyak-banyaknya memori bersama orang-orang terkasih hingga tidak ada
sesal. Jelas takdir tidak memilih kepada siapa ia akan hadir, karena ia sudah
ditentukan dan menjadi suatu ketetapan. Takdir yang tidak serta merta dipasrahkan, namun diupayakan.
Mengupayakan,
mempersiapkan diri sembari menikmati jalan yang memang sudah digariskan.
Terhitung sudah sekitar 2 minggu semenjak hari raya, juga hari
ke-11 di Bandung lagi setelah mudik lebaran. Selama jadi mahasiswa, baru dua
kali merasakan mudik, dan yang kedua ini terasa sangat baru, dan yang paling
sat set sepanjang sejarah. Rasa-rasanya kurang dari 2 minggu (hanya 8 hari aja
lol ☹). Rutenya : Mudik ke Jawa Timur
5 hari, lanjut lagi menghabiskan 3 hari beharga di kampung, lalu kembali ke
Bandung lagi. “Definisi mengukur panjang rel kreta, pp BDG-SBY”.Ini ceritanya
masih jadi seorang mahasiswa, lalu nanti kira-kira akan seperti apa coba, kalau
seandainya sudah ganti status menjadi pekerja? “malas sekali membayangkannya”
Selama bulan Ramadhan, kalau dihitung-hitung begini pembagiannya,
25 hari puasa di Bandung, 4 hari di Jawa Timur, ditambah 1 hari di kampung. Ternyata
berpuasa di tanah rantau orang, dan harus sendirian di kos-kosan vibesnya
berbeda sekali. Kaget pastinya, 2 tahun puasa di rumah tetiba harus membiasakan
diri buat sahur dan iftar sendirian (sad). Lalu, kalau diingat lagi, dulu semasa
masih di asrama pun, waktu puasa juga ga
begitu semenantang tahun ini. Entahlah, padahal konteksnya sama sedang berpuasa di tengah rantau. Tapi kok ya, vibes ngenesnya berbeda.
Fajar
***
Lalu apa? Akhirnya lebaran lagi "pikirku", setelah 2
tahun berlebaran dengan suasana yang berbeda, sepanjang 21 tahun usia (yah,
udah besar ternyata) #lebarandirumahaja. 2 tahun yang ternyata merenggut banyak
hal. Meskipun kalau bisa dibilang lebaran tahun ini sudah kembali normal, karena
sudah diperbolehkan mudik. Lantas juga tidak menciptakan kesan dan suasana yang berbeda. Malah justru
terkesan jadi sad story. Memang kenapa? Rahasia. Ibaratnya semakin sekedar
kumpul saudara, cuap-cuap sedikit, dan kembali lagi ke dunia masing-masing. Hanya
sekedar formalitas. Tidak ada bedanya dengan pulang kampung dengan tujuan
selain untuk berlebaran. Mungkin sebenernya, feel seperti ini sudah terasa
bahkan sebelum pandemic terjadi. Sesederhana ketemuan, nuansa temu kangen sama
sekali tidak ada. Ya sebenarnya wajar si, mau dibilang kumpul saudara juga yang
kumpul bisa dihitung dengan jari. Apalagi kerabat dari kubu ayah, sepi. Padahal
sempat berandai - andai, gimana serunya kalau-kalau semua berkumpul setelah
sekian lamanya berjarak-jarak. Tapi realita tidak seindah pengandaiannya. Ternyata
dulu dan sekarang memang berbeda. Satu hal bahwa, Momen tidak penah akan bisa terulang kembali sekalipun direka ulang sedemikian rupa. Lalu kalau ditanya kiranya apa yang menjadikan
itu berbeda? Jawabanya mungkin karena sosoknya, suasananya, keadaan
masing-masing, atau bahkan pemaknaannya itu lebaran sendiri.
***
#LebaranWaktuBocah
Waktu kecil, kira-kira sampai
sekitar tahun 2015 (kelas 2 SMP), lebaran adalah moment-moment paling
dinanti. Puasa lalu mudik, sengaja menyisihkan hari untuk bertemu dengan saudara
dan keluarga besar dar kedua kubu, ayah maupun ibu. Terkadang bisa memperpanjang waktu mudik. Walaupun tidak bisa
dipungkiri, kadang waktu bertemu juga malah bertengkar 😉, tapi tetap we all happy. Mungkin karena aku dulu masih
kecil, dan terlalu bodo amat apalagi untuk harus berupaya mengambil sikap. Tentu, tiak ferguso. Aku masih mau main, tidak mau tahu urusan orang gedhe.
Lanjut…
Jadi begitu, semua berkumpul. Yang dari Jawa Timur, Tangerang,
Jakarta, dan Yogyakarta mobilisasi ke Jawa Tengah, titik kumpul pertama dan
utama. Selalu seperti itu. Suasananya asik dan nuansa berlebarannya itu sangat
terasa. Semua orang, dari yang tua, sepupu-sepupu, pakde budhe, om tante,
buyutm kakek dan nenek. Fokus kami semua hanya satu, berkumpul dan bertemu.
Berbagi cerita dan melakukan beragam hal, kadang juga sengaja diada-adakan.
Baik aku dan sepupu-sepupu sekaligus cucu-cucu ini juga belum ada banyak
kepentingan, menurutku satu yang paling penting adalah “main”. Tidak harus
pusing memikirkan bagaimana masa depan nanti (ehh opss). Berasa tidak ada beban
sama-sekali, berbeda sekali astaga dengan saat ini dan mungkin nanti. Atau itu mungkin,
yang barang kali membuat lebaran dari tahun ke tahun vibesnya berbeda,
pemikiran sendiri dan bagaimana cara
pandang terhadap lebaran.
Kami biasanya berkumpul di rumah pokok, bergantian dari rumah
simpah pihak ibu atau kakek. Tapi paling rame Bascamp Banyuyoso, rame kalau
lagi kumpul karena keluarga ayah 6 bersaudara beserta turunanya, ehey. Jadi
timeline kedatangannya begini, kontingen Sidoarjo biasanya selalu datang lebih
awal, jadi sudah pasti minimal sehari merasakan puasa di kampung. Datang awal
pulang akhir, template yang sering dilabelkan. Next, keluarga Jakarta yang
datang malam pertama Idul Fitri atau hari kedua lebaran. Ditambah lagi, budhe
dan sepupu yang asalnya memang di Jawa Tengah.
Beda lagi ceritanya kalau dari keluarga ibu. Adek-adek ibu biasanya
cenderung datang mepet, satu dari kontingen Tangeran dan satu lagi dari
Yogyakarta. Lagi dan lagi, kontingen Sidoarjo selalu jadi yang paling awal dan
akhir, mengapit.
Nah iya, ortu asalnya dari daerah yang sama, hanya berbeda
kecamatan dengan jarak sekitar 10-12 km. Otomatis mobilisasi kami kelewat
mudah, sat set sehari bisa 2 atau 3 kali untuk pp, bahkan lebih dari itu pun bisa.
Kami seperti gasing, tidak bisa diam. Jadi kadang kala, waktunya justru
dihabiskan di jalan.
***
#HariHLebaran dan #Makanan
Di hari-H setelah sholat Idul Fitri, spot di rumah yang paling pertama diserbu yakni meja makan, karena akan selalu penuh makanan. Budhe yang memasak, aku yang bantu sekaligus menghabiskan. Makan pun berjamaan, biasanya kalau tidak di pawon “dapur” dekat kolam ikan (err lupa motret) ya di ruang tamu. Sedangkan spot favoritku adalah ruang keluarga.
Di kursi merah panjang itu, spot "mau ngapain aja", dari gegoleran, makan, baca buku, bahkan bersantai sambil nonton acara TV spesial lebaran. Beberapa sepupu dan saudara biasanya juga turut serta. Dulunya di meja marmer bulat itu, ada satu set teko dan cangkir ala-ala yang selalu biasa digunakan oleh alm. kakung. Beliau biasa duduk di kursi nyaman coklat paling belakang, posisi kursi biasanya dimajukan sampai mepet sekali dengan TV. Nah, waktu masih jadi bocil, suka banget buat ikut-ikutan minum dari cangkir simbah.
Di zaman
almarhum simbah masih ada, rumah tidak pernah sepi alias selalu penuh. Maklum,
karena simbah itu termasuk yang dituakan. Tamu-tamu hampir tidak pernah putus
untuk hilir mudik, even ketika masih pagi. Di otak bocahku, yang terpikir cuma “rame terus, cape liatnya, kapan selesainya. Pengen juga keliling.” That’s it, karena dulu bapak emak
paling susah untuk diajak muter. Padahal kan cukup lumayan angpao yang bisa ku
kantongi. Sayangnya tidak, mak bapak biasanya hanya sowan ke rumah saudara
saja. Muter di sini maksudnya yaitu tradisi untuk mampir ke rumah-rumah saudara
atau tetangga, yang muda bersilaturahmi ke rumah yang tua. Seperti itu urutannya.
Di tempat kami dikenal dengan istilah “balalang”, mungkin yang familiar terdengar
yaitu halal bihalal. Keramaian itu berlangsung di hari pertama dan kedua.
Kalau
lagi kumpul bareng saudara, pasti engga jauh – jauh dengan aktivitas yang
berhubungan dengan makan, ke pantai pun lebih banyak waktu yang dihabiskan
hanya untuk makan. Aku pribadi suka sekali dengan es dawet hitam (lokasinya di
sepanjang Jalan Deandels) dan bakso asli Sangubanyu. Lainnya ada degan yang
bisa langsung dicomot dari pohon depan rumah. Selain itu, kalau kumpul-kumpul,
yang ditunggu-tunggu adalah THR-an daru para tetua. Lucunya, momennya selalu
barengan. Ekspresi ku berubah seketika, mata jadi hijau, ew.
Omong-omong
tentang makanan. Kalau lebaran, meja di ruang tamu dan ruang tengah pasti tidak
pernah absen dengan yang namanya toples makanan. Kalau dulu toples suguhannya,
bisa dibilang kuno pakai banget. Berbeda dengan sekarang yang hampir setiap
rumah punya tupperwere atau sebangsanya yang terlihat lebih modern. Apapun toplesnya,
dulu atau sekarang diisinya pastis ama jajanan khas lebaran pastinya. Tetapi
mungkin jenis jajanannya berbeda, kalau dulu cenderung lebih ke arah
tradisional sedang sekarang jajanannya cenderung lebih unik dan modern.
Jajanannya mungkin berubah, tapi aku sebagai penikmat taskbiatnya ya tetep
sama, jadi tukang menghabis-habiskan. Ga hanya tamu, yang punya rumah juga turut
berkontribusi untuk menghabiskan jajanan, wkwk. Meja makan juga selalu penuh
dengan hidangan. Ada oporlah, rica-rica enthok, mie pedes, telor dadar pedes,
ada juga kupat tahu, dsb. Semua makanan tergantung request, jadi kadang kala
meskipun ga masuk ke menu khas lebaran, penting makan.
***
Rindu
sekali dengan suasan itu, kejadian yang pernah ada di masa sekarang dan
berganti masa menjadi dulu. Beruntung pernah di masa itu, dan yang jelas bersyukur
karena punya kampung halaman. Kampung yang sekarang mungkin bisa jadi pelarian
di kala penat.
Sedikit bernostalgia tentang makanan, karena kebetulan beberapa waktu lalu saat berkunjung ke rumah teman, sebelum lebaran tentunya. Hal yang kami bicarakan, ya seputar lebaran dan makanannya. Kami berceloteh panjang lebar, sembari memaksa ingatan yang sedikit memudar tentang lebaran di masa kecil. Agak lupa-lupa ingat sebetulnya. Tapi setidaknya masih ada makanan yang cukup melekat kuat diingatan, mungkin di masa sekarang hampir sudah jarang dijumpai.
Si loreng yang selalu jadi rebutan bareng adek dan sepupu. The first snack yang menjadi sasaran ketika di rumah atau mendatangi rumah kerabat. Biasanya kalau dulu, astor punya toples yang khas yakni toples mika bening dengan tutup merah bergagang warna kuning. Jadi dari depan pintu sudah barang tentu mata tidak akan lepas mengamati (hehe). Pokoknya kalau sudah ada "dia" semua jajanan terabaikan. Prinsipku "masuk rumah langsung sikat". Satu hal lagi cerita seru dari si Astor, jadi kalau isi dalam toplesnya masih utuh. Untuk memudahkan orang mengambilnya, biasanya ada 1 atau 2 astor yang dibungkus dalam plastik yang ujungnya dibiarkan menjeler. Orang bisa dengan mudah mengambilnya tanpa membuatnya jadi remuk. Di sini kami selalu rebutan karena sangat satisfying bruh.
Siapa tim yang hanya suka ambil bagian manisnya aja, cung. Ambil-Potek-Balikin :)
Kue Kembang Goyang
***
[15/05/2022]
Thank
you, sudah menilik! Dan Happy Ied Mubarok Semuwa,Minal aidzin wal faidzin.
Stay
healthy and happy!!!