Do (Lalak)

Okey, mungkin sedikit bernapak tilas. Jadi kalau dirunut sebenernya mak dan bapak asli berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Artinya buahnya berasal dari asal-usul yang sama meskipun lama hidup di Sidoarjo. Setiap momen lebaran Idul Fitri kami dibiasakan untuk mudik ke kampung halaman. Kata ortu yang selalu didengungkan, " momen lebaran itu ada cuma setahun sekali, dan kapan lagi mau kumpul bareng saudara kalo engga di waktu itu" kurang lebih seperti itu. Sebagai bocah SD yang belum sama sekali mudeng, jawabanku cuma iya-iya sambil manggut-manggut. Tetapi seiring berjalannya waktu, makin ke sini udah semakin paham dengan ucapan itu. Ternyata waktu memang berjalan begitu pesatnya, dan jika tidak pintar-pintar menyelipkan momen di antaranya maka waktu yang berlalu akan terkesan sia-sia. Makanya bisa dipastikan kami akan selalu mudik ke kampung minimal sekali setahun. Noted : jika tidak ada sesuatu yang insidental.

Di setiap kepulangan selalu ada momen-momen yang berbeda, sekecil apapun itu. Waktu itu lebaran yang kesekian, mudiknya juga udh tak terhingga. Kalau tidak salah saat itu aku masih SMP, kelas berapa tepatnya? jelas ga inget. Kronologinya begini, jadi beberapa hari setelah lebaran ada tanggapan (sebutan untuk acara besar seperti hajatan). Why did the event held after ied mubarak? sebab orang jawa punya kepercayaan dan hitungan tersendiri untuk ngadain semacam perhelatan. Ada kepercayaan baiknya, acara seperti khitanan, selamatan, pernikahan, dsb diadakan di bulan syawal. Buat hitungan tanggal baiknya gimana? aku ga tau, silahkan meng-Googling atau menanyakan pada si ahlinya.Tanggapan -nya bisa dibilang cukup mevah. Gimana ga tergolong mevah, acara pokok yang digelar sebenarnya dalam rangka khitanan tapi ada juga gelaran acara pelengkap, namanya Tarian Dolalak.

Tarian ini tergolong beda dari tari-tari lainnya. Agak unik, pertunjukannya bisa dilakukan di siang atau malam hari. Pokoknya jam tayangnya bisa ditentukan, deh :). Di jaman itu, acaranya dimulai malam-malam, sehabis isya. Inget banget, dulu aku berangkat cuma pake training itam (sampe sekarang masih muat) sama hoodie ungu. Berangkat barengan sama rombongan ibu-ibu dan simbah. Gegara ini juga, aku dapet bonus THR wkwkwk.

Seingatku, kami datang cukup awal tapi waktu liat situasi dan kondisi yang ada, nyatanya banyak juga yang sudah datang. Mengingat badan yang tidak mendukung, kami kebagian nonton di sisi belakang samping panggung. FYI, panggungnya tinggi ya bunda sementara yang punya badan mungil sekalee. Melongok-longoklah saya.

Kalo berdasar dari mini research, Tari Dolalak merupakan warisan budaya aslidari Purworejo Jawa Tengah.  Ga ada yang tau kapan pastinya tarian ini mulai berkembang, berdasarkan beberapa sumber tarian ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Di mana setiap unsur geraknya diadopsi dari perilaku serdadu – serdadu atau yang orang awam seperti kita ini menyebutnya sebagai tentara Belanda. Pada masa itu serdadu Belanda sangat gemar sekali untuk menunjukkan euforianya, salah satunya adalah berpesta, berdansa, dan minum - minum. Dolalak sendiri diambil dari kata “do” dan “la-la” yang dimaksud not balok dari do,re,mi,fa,sol,la,si,do. Nah berhubung lidah orang jawa agak susah dan khawatir belibet, jadilah disederhanakan  menjadi dolalak. Dulu sekali, tarian ini dijadikan sebagai media untuk meluluhkan hati kolonial Belanda. Jadi,dengan kata lain terselip unsur politik di dalamnya.

Dolalak memang mirip dengan tarian Angguk dari Yogyakarta, terlihat dari kostum dan bentuk penyajiannya. Tari Dolalak ini sangat populer di masyarakat dan diberbagai kalangan. Tua muda sama – sama menikmati pertunjukan tersebut, karna seiring berjalannya waktu juga Dolalak tidak ditanggap (dipentaskan) di sembarang acara, melalankan momen – momen khusus seperti hajatan, pernikahan, khitanan, dan lain – lain.

Seringkali pertunjukan tari ini, dilakukan di malam hari. Mengapa? Pasti kalian bertanya – tanya. Di samping sebagai hiburan tarian ini juga memiliki beberpa unsur – unsur dominan yang melekat di dalamnya.  Terkesan indah tapi juga sedikit menyeramkan memang. Kearifan budaya ini juga memunculkan sisi magis dan mistis. Ingat atau barang kali ada yang tau jaran kepang/kuda lumping? Kesenian ini hampir mirip dengan Dolalak, yang pada puncak acaranya diwarnai dengan kesetanan atau kesurupan (trance). Bagian ini nih klimaksnya, cuma aku suka. Jadi ada 2 part tarian, pertama tarian Ambyakan semacam tarian pembuka yang dilakukan berjamaah alias banyak penari dan kedua tarian Pasangan yang dilakukan berdua-berdua, di sinilah klimaks terjadi. Bedanya dengan jaran kepang, Dolalak tuh lebih kalem dan ga begitu brutal.

Pada pementasan diiringi dengan alunan syair islami dan tabuhan kemelan lengkap dengan mantra khusus serta sesajian. Kentara sekali keunikannya. Aku pribadi mengakuinnya. Dolalak  dipentaskan olehmba-mba atau mas-mas dengan baju serba hitam, bayangkan sedang cosplay  serdadu/tentara eropa  dan dilengkapi dengan aksen berwarna emas dibagian tertentu, tidak lupa juga terselampir selendang berwarna cerah. Dulu, celana yang dipakai adalah celana panjang selutut, namun berjalannya waktu bagi penari wanita menggunakan celana pendek (hot pants) dan stoking senada dengan warna kulit.

Kalau versi ingatanku yang agak-agak ngawang, pertujukannya sendiri diawali dengan beberapa gerombol penari yang melakukan gerakan khas serdadu secara berulang- ulang dan diiringi dengan alunan syair seperti sholawat, tembang jawa, dan lainnya. Tembang tembang tersebut mengandung sindiran sosial dan kritik. Lama – kelamaan beberapa diantara mereka akan mengalami kesurupan yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan “mendhem”, uniknya tidak seperti jaran kepang, penari tersebut tetap menari sesuai dengan irama dan ritme yang ada. Lucunya terkadang di samping meminta sesajian, si penari yang kesurupan tersebut meminta hal hal yang aneh- aneh, sehingga menimbulkan gelak tawa dari para penikmat pertunjukan. Pada akhirnya, lama –lama ketukan irama pengiring akan berubah menjadi sangat cepat, dan secara sepontan penari akan dengan sendirinya melakuakn gerakan – gerakan untuk menyadarkan dirinya sendiri.

Tapi, sayangnya makin ke sini sudah sangat jarang ditemui pertunjukan tarian ini. Cuma segelintir orang aja yang dengan berbesar hati berusaha untuk melestarikannya. Beberapa orang punya pemahaman yang berbeda dan terkadang ekstrim ketika memaknai tarian ini. Bisa dibilang, hal itu menjadi tantangan terbesarnya. Padalah, di dalam Tarian Dolalak terdapat segudang pesan yang dapat dipetik, di samping sisi hiburan penghilang stres. Terdapat banyak filsofi keagamaan serta sosial yang tersirat, salah satunya adalah bagaimana kita sebagai sesama makhluk hidup dituntut untuk dapat saling menghargai dan hidup berdampingan dengan selaras, dan mengakui serta mengingat adanya Tuhan di setiap tindakannya. Berbagi dan mengasihi adalah kunci keselarasan dalam kehidupan. 

Kedepannya mungkin, bisa dengan lebih bijaksana untuk sama-sama mampu mempertahankan tarian ini yang menjadi salah satu bagian penting dari mozaik budaya kita, Indonesia. Berikut juga budaya - budaya lain. Ga perlu takut untuk terus berpartisipasi, toh nantinya akan kembali buat diri kita masing - masing. Jangan sampai tunggu ada yang ngaku-ngaku dulu, baru belakang kebakaran jenggot. Telat ferguso!!!
***
[06/05/2022]
Thank you, sudah mampir!
Stay healthy and happy!

You Might Also Like

0 comments