Limitasi

 


Dulu ketika masih SD, saat kelas IPA ada sebuah teori tentang hukum kekekalan energi, bahwa energi tidak bisa dihilangkan atau dimusnahkan, tetapi hanya dapat dikonversi ke dalam wujud lain sesuai dengan manifestasinya. It’s about the balances. That is what happen to our  life.

Lalu, jika ditanya bagaimana proses perubahannya dan wujud nyatanya secara visual? Aku tidak sepenuhnya yakin meskipun sudah banyak teori yang menggambarkannya secara gamblang melalui beragam visualisasi, baik yang sifatnya konvensional maupun digital.

Kesetimbangan”, kata itu menggambarkan sebuah kesetaraan yang tidak mesti sama dari segi wujud, proporsi, dan kuantifikasinya.

Semesta pun begitu, selalu seimbang dan menyeimbangkan.  Ada siang pun ada malam. Ada langit pun ada bumi. Ada daratan pun ada lautan. Ada canda pun ada tawa.

Ketika ada yang bersuka cita atas sebuah kelahiran, bisa jadi di belahan bumi lainnya ada sebuah  duka atas sebuah kepergian. Kelahiran ialah wujud dari kedatangan, sementara kematian yang tidak lain ialah wujud dari kepergian. Kelahiran dan kematiaan terkadang selalu beriringan dengan derai tangis air mata. Keduanya hanya dipisahkan batasan tipis. Bayangkan, ini seperti batas antara siang dan malam yang berlangsung hanya sepersekian detik. Singkat.

Aku, kamu, dan manusia di luar sana, tidak akan pernah tau bagaimana takdir akan membawa jalan hidup ini. Apakah besok aku masih ada, dan memfungsikan paru-paru dengan semestinya? Pun dengan mu? Atau bahkan di detik berikunya raga ini sudah terbujur kaku seperti balok kayu yang tumbang melintang. Jika sudah begitu, lantas bagaimana nasib rencana yang sudah dicari, direncanakan, dan  disketsakan dengan apik nan rapi hanya ditinggal begitu saja? Sirna tanpa jejak.

Lantas bagaimana? jika, waktu yang digunakan untuk sekedar membuat sketsa nasib, ah ya bahkan belum sampai tahap itu. Baru saja dititik pencarian “tujuan”, sudah lusinan waktu disia-siakan sementara yang ada di depan mata diabaikan sebab dirasa kurang ideal. Sayangnya waktu yang diberikan punya limitasi tertentu yang dirahasiakan, jika sudah tiba masanya mungkin hanya bisa ber”oh ria”. Konon katanya, habisnya waktu datang secara tiba-tiba, mengagetkan dan menakjubkan. Then, what next?

***

Menginjak usia kepala dua, aku cukup terkejut mana kala dihadapkan dengan begitu banyak kabar duka yang bergaung dari mana saja. Dari dulu hingga menginjak SMA setidaknya duka di depan mata hanya ketika orang tua ayah (simbah) dan sesepuh pada generasi sebelumnya meninggal dunia. Saat itu, rasa kehilangan yang justru mendominasi, sebatas itu. Tidak tahu, mungkin memang sepatutnya begitu. Sesuai dengan logika yang ada, bawhwa yang datang terlebih dulu, sewajarnya akan pergi terlebih dahulu. Berjalannya waktu, fakta yang terjadi tidak sesederhana itu. Lalu…

Seolah tidak ada aba-aba, segalanya terjadi begitu cepat dalam kelebat singkat. Kabar duka bergema dimana-mana, seruan ketakutan yang tidak urung berhenti jua. Kepergiaan dan kematian serasa seperti kutukan masal dalam dua tahun kebelakang (2020-2021). I called those of years by “Musim Panen Kematian”. Setiap hari, tanpa sadar dalam benak menerka, siapa selanjutnya? Pasalnya hampir setiap hari duka yang digaungkan terdengar dari mana saja, dari lingkup masal yang sama sekali tidak aku ketahui siapa saja orangnya – caused by Covid. It’s the dark period.

Tidak berhenti begitu saja, rupanya yang dikira usai ternyata baru saja dimulai "untuk diri sendiri", dan yang disangka sudah cukup ternyata bukan apa-apa. Mungkin Allah sengaja membuat jeda sejenak, yang tentu menjadi bagian dari rangkaian takdir yang   ̶  Ia buat. 

Waktu yang sempit di mana seharusnya menjadi ruang perenungan untuk mengavaluasi diri dan mempersiapkan diri menjadi versi yang lebih baik lagi. Waktu yang seharusnya cukup untuk memberikan sejenak saja kesempatan beristirahat atas ritme yang serba cepat, bersamaan dengan tarikan nafas yang masih tersengal-sengal. Waktu untuk sejenak terlepas dari rasa was-was dan takut yang menikam. Dan ketika dirasa cukup, Ia akan datang kembali untuk melihat, apakah kita sudah siap? apakah aku sudah sadar betul bahwa waktu yang ku punya terbatas? Apakah aku sudah cukup mengerti dengan apa itu kematian?

Saat itu pun tiba, ketika aku atau bahkan sejengkal manusia di luar sana merasa lengah. Duka seperti sengaja digiring mendekat kemudian perlahan menyempit dan menghimpit. Datang bertubi-tubi di sekelilingku, tidak persis dekat namun aku rasa sudah cukup untuk merasa terjerat dan tercekat. Duka itu  terdengar untuk pertama kalinya dari lingkup perteman, kerabat dekat, dan orang-orang yang dekat.

Lalu apa? urutan selanjutnya masih akan menjadi misteri, yang jawabannya baru nanti. Satu hal yang juga dituliskan oleh biografi Habibie dalam - Rudy "Kisah Masa Muda Sang Visioner".

***

The Death, menjadi lucu, menarik, dan mencekam dalam waktu bersamaan. Menjadi lucu karena semua orang tahu bahwa itu nyata tetapi tidak ada yang tahu bagaimana bentuk dan manifestasinya. Membuat siapapun berlomba lomba untuk menunggu dijemputnya, namun terkadang hingga lupa diri dan bosan sendiri. Lalu, menjadi menarik bak bermain teka-teki rahasia, siapapun bisa mencoba menerka tapi tak benar-benar mendapat jawaban pastinya. Dan, mencekam karena sifatnya yang terlalu rahasia, tak dapat dihindari dan datang tanpa aba-aba, tetiba datang begitu saja tanpa permisi dan berbasa-basi.

Saking tidak pastinya, kematian bak sebuah misteri. Sungguh Na’as jika ia datang pada saat manusia tidak cukup waspada. Dan alangkah beruntungnya ketika ia datang pada mereka yang senantiasa bersiap siaga. 

***

Seperti halnya manusia kebanyakan, aku sudah dikenalkan dengan apa itu “kematian” sejak dini, bahkan jauh sebelum mengenal apa itu arti dan makna hidup. Kematian adalah salah satu kepastian takdir, selain jodoh dan rezeky yang dijanjikan oleh Tuhan dan semesta-Nya. Bahwa setiap yang bernyawa akan meninggal pada akhirnya. Sekedar itu. Mungkin sesekali bertanya, kapan datangnya… Lantas terlupa, digilas oleh keinginan untuk memikirkan dan menggapai dua garis takdir lainnya.

Setelah semua peristiwa, kematian tidak lagi menjadi sekedar peringatan yang dituliskan dan dituturkan. Ia dekat, terlampau lekat dan menjadi teman yang mengiri dalam keseharian. Ia sudah pasti ada, tapi serba tak pasti kapan tiba waktunya. Menurutku, kematian itu seperti permainan gelembung sabun yang ditiupkan sembarang arah, di tengah-tengah banyaknya kerumunan, gelembung berterbangan di atas kepala siapapun dan jika sudah waktunya maka akan meletus kapan saja “Blub”. Dan waktu habis. Layaknya anak-anak yang tadinya berjingkrak-jingkrak kegirangan, seketika diam terbata dengan tatapan nanar. Dunia berhenti dalam sekejak - "Hanya dunia mu".

Sekarang, rasa was-was dan pertanyaan demi pertanyaan pada akhirnya bermunculan. Menebarkan ketakutan. Takut, mengapa dan akan hal apa hmm? Tanya yang terus berputar dalam benak.

Teringat,  Ayah dulu pernah bilang, jika merasa takut artinya aku belum siap, belum mempersiapkan bekal dengan tepat. Layaknya mengerjakan soal ujian MTK. Di sinilah aku dan beberapa di antara kamu yang berada di titik ini, rasa takut itu tercipta dari harapan besar namun, dipenuhi kekhawatir sebab perbekalan dan amunisi yang seadanya juga minim.

Bagaimana takdir akan membawa kita semua? Apakah jika kematian tidak sengaja mampir dan membawa seluruh yang tersisa, aku dan kamu di luar sana sudah berada dalam keadaan terbaik, yang mana bahkan tidak hanya di mata semesta dan seisinya, namun baik juga dihadapan Tuhan? Doa dan harapan yang selalu dipanjatkan serta disemogakan. Aamiin.

***

Aku atau kamu di luar sana akan terus dibentrokkan dengan misteri hidup yang seperti benang kusut. Berpikir, merenung, menunggu, dan terus mencari hingga entah kapan masa itu akan tiba dan justru waktu yang dipunyai habis tak bersisa. Semua yang direncana pada akhirnya terkubur begitu saja. Bolehkan dikatakan bahwa waktu akan membunuhmu. Mungkin tidak benar, tapi aku setuju.

Pilihan terbaik yang mungkin bisa dilakukan yakni berusaha menghargai apapun yang dimiliki dan diberikan saat ini. Akhir-akhir ini jadi cenderung bersikap seperti itu. Mengupayakan apa yang bisa diupayakan, berikhtiar dengan sebaik baiknya. Lalu menunggu ke mana selanjutnya takdir akan membawa pergi.

Hiduplah di masa sekarang. Maafkan saja dulu, masa lalu yang sekiranya terlampau menyakitkan, kemudian terima. Hempaskan belenggu yang menjadi jerat supaya tidak tertatih-tatih dalam menapaki langkah di masa mendatang. Nyatanya tidak adil jika membiarkan diri sendiri  terjebak di sana dan menyalahkan keadaan, apapun itu. Terkadang tidak semuanya sejalan dan dapat dikendalikan karena adanya sebuah keterbatasan dan ketidaksempurnaan. Aku dan kamu tidak ingin dituntut terlalu keras bukan? begitu pun dengan semesta dan yang lainnya.

Hiduplah di masa sekarang, tanpa perlu risau akan masa depan dengan serangkaian prasangka-prasangka kurang ajar,  yang acapkali menciptakan bermacam-macam scenario yang tidak berdasar dan justru diyakini. Otak yang luar biasa terlampau kreatif, mungkin akan lebih baik jika dijadikan ide sebuah cerita fiksi. Cukupkan berandai - andai! Syukuri dan nikmati apa yang sudah dihidangkan.

Waktu yang sekarang tidak mungkin bisa diulang, tidak akan pernah menjadi masa depan, namun bisa menjadi momen paling menakjubkan untuk disematkan menjadi bagian dari lusinan memory masa lampau yang dapat dikenang dan diceritakan di masa yang akan datang. Buat sebanyak-banyaknya memori bersama orang-orang terkasih hingga tidak ada sesal. Jelas takdir tidak memilih kepada siapa ia akan hadir, karena ia sudah ditentukan dan menjadi suatu ketetapan. Takdir yang tidak serta merta dipasrahkan, namun diupayakan.

Mengupayakan, mempersiapkan diri sembari menikmati jalan yang memang sudah digariskan.


 [15/06/2022]

Thank you, sudah menilik! 

Stay healthy and happy!!!

Pict source :https://pin.it/3qmSsGL

You Might Also Like

0 comments